AJARAN SOSIAL GEREJA


 
PENDAHULUAN
Acapkali muncul pertanyaan seputar sikap Gereja menghadapi keadaan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dalam hidup sehari-hari. Bagaimanakah Gereja menyikapi umat yang hidup melarat, tak cukup makan dan minum, tak bisa bayar uang obat, tak bisa mengecapi pendidikan dasar? Apakah Gereja hanya meminta mereka untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan supaya Dia menolong untuk menghadapi masalah-masalah yang sedang dihadapi? Atau, disamping memohon kepada Tuhan dengan tekun, Gereja juga mengambil sejumlah tindakan nyata untuk mengeluarkan mereka dari kungkungan sosial yang menyengsarakan, menyakitkan dan menekan lahir dan batin?
            Kaum kecil, tertindas dan terpiggirkan termasuk bagian kemanusiaan yang dicabik-cabik dan diabaikan. Kesetaraan manusia sebagai makhluk ciptaan mengalami pergeseran makna sosial. Seorang anak manusia yang lahir dari keluarga petani pada dasarnya adalah sederajat atau setara dengan seorang anak yang lahir dalam sebuah istana. Yang membedakan mereka adalah tempat, lingkungan, dan suasana sosial kelairan. Sedangkan, kemanusiaan dalam dirinya adalah satu dan sama. Inteligensi setiap manusia pada hakekatnya setara, mungkin, kecuali anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang suka meneguk alcohol atau anak dari pasangan yang berhubungan darah yang dekat. Manusia sebagai manusia adalah setara dan sejajar terlepas dari segala embel-embel sosial dalam masyarakat.

LATAR BELAKANG

Sejak Gereja Purba, kesadaran dan kepedulian akan kesejahteraan manusia sudah bertumbuh dan berkembang. Malah, sebelumnya, terdorong oleh belas kasih terhadap orang banyak yang telah mengikuti-Nya selama tiga hari, Yesus memperbanyak roti dan ikan sebagai makanan untuk mereka, sehingga mereka bisa mengisi perut. Yesus tidak menyuruh mereka pulang dengan lapar supaya mereka tidak rebah di jalan (Mat. 15:32-39). Ini sangat sesuai dengan misi utama kedatangan Yesus untuk membawa Kabar Baik ditengah-tengah masyarakat tanpa pilih kasih. Yang sakit disembukan, si buta bisa melihat, si lumpuh berjalan, si lapar mendapat. Suka cita terjadi dari dalam diri Yesus, Sang Juruselamat (Luk. 4: 17-19).
Sebagai sebuah lembaga rohani, Gereja Katolik tidak pernah berdiam diri. Seruan kenabian (Amos, Habakuk) selalu didengungkan kala muncul tekanan dalam bidang kemanusiaan, ketidakadilan sosial, diskriminasi dan kekacauan sosial. Hati nurani tidak mungkin berdiam diri dan membiarkan manusia lain hidup dalam tekanan dan penderitaan yang tak manusiawi.
      Menjelang akhir abad ke XIX Gereja Katolik kembali menyuarakan kepedulian dan keprihatinannya atas berbagai masalah social di tengah masyarakat Eropa Barat. Keadaan hidup buruh pabrik, kesenjangan social antara konglomerat dan kaun proletar, system penggajian yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan hidup yang memprihatinkan, sebagai dampak dari lahirnya revolusi industry, mendorong Gereja untuk bersuara. Kala itu isilah ASG belum digunakan secara terang-terangan, namun masih samar-samar. Tak heran, Paus Leo XIII meluncurkan Ensiklik Rerum Novarum yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran bagi hidup social yang sehat.
Pada tahap-tahap awali, Ajaran Sosial Gereja merupakan refleksi atau usaha-usaha orang beriman Kristiani yang bergumul dengan masalah-masalah sosial pada awal dan pertengahan abad kesembilanbelas. Masalah-masalah sosial pokoknya disamakan dengan masalah buruh dan masalah buruh disebabkan oleh perkembangan industry serta oleh system ekonomi liberalis, namun masalah buruh semula dipandang oleh orang Katolik terutama sebagai tantangan bagi “caritas” Kristiani. Maka usaha sosial yang pertama itu mau “menolong” orang-orang yang terlantar dalam proses industrialisasi itu. Jauh sebelum Magisterium Gereja angkat bicara dalam masalah-masalah buruh, ada usaha kaum awam dan para pastor untuk membantu kaum buruh.
Baru lama-kelamaan masalah buruh disadari sebagai masalah “kemasyarakatan”, terutama dibawah pengaruh Karl Mark, dan karena desakan oleh gerakan sosialis dan komunis. Dengan ensiklik sosialnya, Paus Leo XIII ingin menunjukan interesse Gereja Katolik pada masalah kaum buruh, jangan sampai buruh-buruh seluruhnya meninggalkan Gereja. Juga usaha sosial para pastor dan gerakan-gerakan awam serta dokumen-dokumen ajaran perlu dimengerti atas latar belakang pengaruh pemikiran Karl Mark dan dalam perlawanan dengan gerakan sosialis dan komunis. Dan tertutama dalam perdebatan dengan sosialisme dan komunisme, ASG benar-benar menjadi ajaran, yaitu sebagai antropologi Kristiani. ASG bukan hanya suatu kesimpulan teori yang berawal dari keterlibatan praktis atau suatu refleksi atas masalah-masalah sosial yang dihadapi orang Kristiani bersama dengan semua orang yang berkehendak baik. ASG mengembangkan gambaran Kristiani mengenai manusia dan panggilannya yang transenden dengan implikasi-implikasinya yang sosial.
Masalah “majikan dan buruh” merupakan pusat perhatian pada tujuhpuluh tahun pertama dari Ajaran Sosial Gereja. Namun dengan perubahan politik setelah Perang Dunia II, masalah sosial (antara buruh dan modal) menjadi masalah mondial (antara Negara industry dan bermodal- yang pada umumnya sama dengan kuasa colonial – dengan negara-negara yang biasanya disebut “sedang berkembang” – yang pada umumnya baru memperoleh kedaulatan politik). Tema “perkembangan” menggantikan tema “masalah buruh” menjadi perhatian pokok dalam ajaran sosial oleh Magisterium Gereja dan dalam usaha-usaha banyak gereja setempat, untuk merumuskan tanggungjawab orang Kristen dalam masalah-masalah kemasyarakatan dewasa ini. Masalah sosial tidak lagi terbatas pada lingkungan satu Negara atau lingkungan kebudayaan dan daerah ekonomi tertentu. Sebab tanggungjawab sosial memperhatikan hidup bersama secara damai dalam keseluruhan umat manusia dan masa depan yang terpelihara. 
      Istilah ajaran (doktrin) dalam konteks ini terkait dengan Kabar Baik (Injil) dan Gereja. Kabar Baik selalu menunjuk pada Yesus yang datang kedunia untuk menyembuhkan, memberikan makan kepada yang lapar, menghibur, menguatkan, mengampuni dan menyelamatkan. Ini berarti Gereja berupaya menyalurkan karya keselamatan bagi semua orang. Gereja pada dasarnya menolong mereka yang miskin, kecil, dan disingkirkan dari percaturan hidup social. Karena yang disalurkan adalah ajaran, maka Gereja berperan sebagai guru (magistra) atau pengajar yang menyampaikan arahan-arahan dalam hidup bersama sebagai sebuah masyarakat. sikap dan langkah apakah yang seharusnya diambil dalam menghadapi kenyataan sosial? “Doktrin” dan “filsafat Kristiani” pada Rerum Novarum mengacu pada ASG.
      Empat puluh tahun sesudah RN, Paus Pius XI mengedarkan Quadragesimo Anno (1931). Dalam ensiklik ini Gereja dengan jelas, tegas dan resmi menggunakan istilah ASG. Gereja terutama berbicara mengenai ajaran social yang terkait dengan hidup dan keadilan social dalam masyarakat. Sebuah kepedulian akan gejala ketidakadilan social mendorong Gereja untuk bersuara dan memperjuangkan kesejahteraan manusia sesuai  dengan nilai keadilan. Ketidakadilan social sudah sebegitu tersebar sehingga dunia mendambakan keadilan yang mencangkup semua bidang hidup manusia.
Dalam pesan radio kepada para pastor paroki dan umat di Roma mengenai penafsiran atas Kesepuluh Perintah Allah, Paus Pius XII dengan tegas menggunakan istilah ASG. Para penggantinya seperti Paus Yohanes XXIII juga mengambil alih istilah ini dan menggunakannya secara luas dalam ensiklik-ensikliknya. Walaupun istilah ini tidak secara eksplisit digunakan dalam Rerum Novarum, namun apa yang dimaksudkan Paus Leo XIII dengan kata “doktrin” dan “Filsafat Kristiani” sebenarnya adalah ASG. Kemudian istilah ASG digunakan oleh Paus Pius XI secara pasti dan sejak saat itu para Paus dan penggantinya secara aman menggunakannya dalam berbagai kesempatan
      ASG dimaksudkan untuk menjadi pedoman, dorongan dan bekal bagi banyak orang Katolik dalam perjuangannya ikut serta menciptakan dunia kerja dan beragam relasi manusia yang terhormat dan masyarakat sejahtera yang bersahabat dan bermartabat. Dengan bekal dan pedoman ajaran social, mereka diharapkan menjadi rasul awan yang tangguh dan terus berkembang di tengah kehidupan real.
PENGERTIAN
Dalam pengertian yang lebih komprehensif, ASG merupakan tanggapan atau respon umat beriman atas persoalan-persoalan sosial atau kemasyarakatan, baik dalam bidang ekonomi, polotik, sosial, lingkungan hidup (ekologi) maupun kebudayaan. Ia merupakan perspektif, pemikiran dan sikap orang beriman dalam menanggapi persoalan-persoalan zamannya.  ASG yang tertuang dalam Ensiklik Rerum Novarum (Mei 1891) sampai Ensiklik Deus Caritas Est (Desember 2005) mencermati, merefleksikan dan menawarkan nilai-nilai sebagai pedoman arah bagi umat beriman Kristiani dalam menanggapi berbagai masalah social yang muncul. Ajaran Sosial Gereja bukan hanya sekadar himpunan doktrin social tentang hidup menggereja, tapi merupakan sebuah filsafat hidup social Gereja yang berkembang dari zaman ke zaman. Sebagai bagian dunia dan masyarakat Gereja tidak mungkin hidup tertutup tanpa keterkaitan dengan dunia sekitar. Keadaan di dalam Gereja dan hidup social saling terkait, melengkapi dan menyempurnakan.
Ajaran Sosial Gereja atau ASG berisikan ajaran Gereja tentang permasalahan keadilan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. ASG berusaha membawakan terang Injil ke dalam persoalan keadilan sosial di tengah jaringan relasi masyarakat yang begitu kompleks. Dengan kata lain, ASG berusaha mengaplikasikan ajaran-ajaran Injil ke dalam realitas sosial hidup bermasyarakat di dunia. Tujuan ASG adalah menghadirkan kepada manusia rencana Allah bagi realitas sekular dan menerangi serta membimbing manusia dalam membangun dunia seturut rencana Tuhan (bdk. Hervada).
Secara sempit ASG dimengerti sebagai kumpulan aneka dokumen (umumnya disebut ensiklik) yang dikeluarkan oleh Magisterium Gereja dan berbicara tentang persoalan-persoalan sosial. Dokumen-dokumen tersebut antara lain Rerum Novarum (tentang kondisi buruh, dikeluarkan oleh Paus Leo XIII tahun 1891), Quadragessimo Anno (tentang pembaharuan tatanan sosial oleh Paus Pius XI tahun 1931), Mater et Magistra (tentang umat kristiani dan persoalan-persoalan sosial di dunia oleh Paus Yohanes XXIII tahun 1961), hingga yang terakhir untuk sementara ini, yakni Centesimus Annus (1991). Ensiklik terakhir ini berisi penegasan Paus Yohanes Paulus II bahwa Ajaran Sosial Gereja termasuk dalam ajaran resmi iman dan tergolong dalam antropologi teologis. Antropologi teologis dimengerti sebagai teologi tentang manusia yang telah ditebus dan dirahmati oleh Kristus.
Kita masih bisa memasukkan dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh konferensi para uskup dari berbagai negara. Pertemuan para uskup dari bumi Amerika Latin di Medelin melahirkan dokumen-dokumen yang kemudian dikenal dengan dokumen Medelin pada tahun 1968. Para uskup Amerika Serikat mengeluarkan Surat Pastoral berjudul Economic Justice for All (Keadilan Ekonomi bagi Semua) di tahun 1986. Dari KWI kita mengenal Surat Gembala tentang Pemilu, Nota-nota Pastoral 2003-2005, dsb.
Dokumen-dokumen sosial dari para uskup tersebut mencerminkan pergulatan Gereja dalam usaha menghadirkan diri di tengah kehidupan bermasyarakat dalam konteks masing-masing. Karena itu, ASG tidak dapat dipahami melulu sebagai kumpulan dokumen sosial yang diterbitkan oleh Magisterium. Sementara dokumen atau ensiklik sosial berisikan ajaran sosial yang kurang lebih baku, ASG ditafsirkan dan dijabarkan dalam pergulatan umat kristiani di tengah-tengah kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi (bdk. Kieser, 2). Kehidupan bermasyarakat dan konteks hidup sehari-harinya menjadi lapangan konkret bagi pengembangan ajaran sosial Gereja. Dengan kata lain, ASG telah ada sejak umat kristiani menjalani hidup di tengah masyarakat dan dunia.
Keberadaan ASG dalam Gereja tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Gereja diutus oleh Tuhan ke dalam dunia (bdk. Yoh 17:18). Tuhan bahkan tidak berpikir untuk mengambil Gereja dari dunia (bdk. Yoh 17:15). Tuhan mengutus Gereja ke dunia untuk menjadi sakramen kehadirannya dan menandai hadirnya tanda dan sarana keselamatan Tuhan di dunia. Karena itu, tugas Gereja adalah hadir di dunia, bukan lari dari dunia. Misinya adalah mewartakan dan mengomunikasikan keselamatan Kristus, yang disebutNya “Kerajaan Allah”, yakni persatuan dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Dengan hadir di dunia, Gereja menjadi benih dan awal dari Kerajaan Allah (bdk. Compendium art. 49).
Warta keselamatan Kristus melalui kehadiran Gereja menuntut terjadinya perubahan nyata tatanan dunia sesuai dengan yang dikehendaki Kristus. Cinta kasih Kristus, yang menjadi perintah utama dan syarat utama sebagai murid Tuhan (Yoh 13:35), harus diterapkan kepada sesama dalam relasi sehari-hari. Perwujudan cinta kasih itu bukan sekedar menyapa orang lain, memberi senyum, dan membantu dengan mengulurkan tangan. Perintah kasih diwujudkan dalam konteks membuat dunia ini menjadi tempat yang sesuai dengan kehendak Allah dan membangun KerajaanNya. Maka, membangun keadilan sosial, menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang paling membutuhkan, mempromosikan hormat terhadap martabat manusia merupakan bentuk nyata dari aplikasi perintah kasih. Ajaran Sosial Gereja berkaitan langsung dengan bagaimana hukum cinta kasih Kristus dilaksanakan oleh Gereja dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat dan dunia.
Ajaran Sosial Gereja bersifat lunak bila dibandingkan dengan dengan ajaran Gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan kata lain, ASG merupkan bentuk keprihatinan Gereja terhadap dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan. Karena masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia beragama bervariasi, dan ini dipengaruhi oleh semangat dan kebutuhan zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi sesuai dengan isu sosial yang muncul.
Ajaran Sosial Gereja juga dapat dikatakan sebagai ajaran Gereja yang mengatur hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Jadi, dalam konteks ini ASG merupakan teologi, refleksi iman orang beriman atas situasi zamannya. Sebuah permenungan yang mendasari perspektif, pemikiran dan sikap yang dilakukan dalam terang iman Kristiani. Sebagai teologi, ASG merupakan teologi praktis, dan langsung menanggapi persoalan-persoalan real-situasional yang ada dan berkembangan dalam masyarakat. Sehingga ia menjadi pedoman atau “Frame” orang beriman dalam keterlibatan atau peran serta aktif di dunia atau bidang ekonomi, politik, social, ekologi dan kebudayaan.

SUMBER AJARAN SOSIAL GEREJA (ASG)
Ajaran sosial Gereja sebenarnya adalah ajaran Gereja yang diperuntukkan bagi kebaikan bersama (common good) dalam masyarakat, untuk mengarahkan masyarakat kepada kebahagiaan. Banyak orang menghubungkan surat ensiklik Bapa Paus Leo XIII, Rerum Novarum, tahun 1891, sebagai tanggapan Gereja Katolik yang nyata terhadap keadaan krisis sosial dunia.  Namun sebenarnya, keberadaan ajaran sosial Gereja telah ada sejak lama, bahkan sejak zaman Perjanjian Lama.
Maka sumber ajaran sosial Gereja Katolik adalah: (disarikan dari buku karangan Arthur Hippler, Citizens of the Heavenly City, A Catechism of Catholic Social Teaching, (Rockford Illinois: Borromeo Books, 2003) p. 1-11:
1.        Kitab Suci, terutama ke-sepuluh perintah Allah yang menjadi dasar pengajaran moral dalam Gereja Katolik (lih. KGK 264-2068). Melalui hukum-hukum Musa di Perjanjian Lama, sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa Allah memberikan hukum tidak hanya untuk mengatur penyembahan kepada Allah, tapi juga untuk mengatur kehidupan yang benar antara sesama keluarga dan masyarakat. Hukum ini yang kemudian disarikan menjadi “Kasihilah Tuhanmu dengan segenap hatimu dan kekuatanmu… dan kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu sendiri” (lih. Mat 22:37-39).
2.         Pengajaran para Bapa Gereja dan para Pujangga Gereja (Doctors of the Church), terutama St. Agustinus (354-430) melalui bukunya The City of God, yang mengatur pengajaran tentang manusia dan masyarakat; dan St. Thomas Aquinas (1225-1274), dengan bukunya, Summa Theologiae, di mana bagian yang terbesar dari Summa adalah Teologi moral/ Moral Theology.
3.        Pengajaran dari Bapa Paus, yaitu dari surat-surat ensiklik dan pengajaran lisan/ dalam homili/ sermon/ pidato. Pengajaran dari Bapa Paus ini merangkum Kitab Suci dan pengajaran dari para Bapa Gereja dan Pujangga Gereja. Bapa Paus yang mengajarkannya ajaran sosial ini kepada dunia adalah merupakan tanda bahwa Kristus tak meninggalkan umat manusia bagai yatim piatu, namun terus menyertainya dengan ajaran-Nya yang ditujukan bagi semua orang, demi kebaikan bersama.
Memang banyak orang sukar melihat bahwa ajaran dari Bapa Paus merupakan ajaran bagi semua orang, sebab mereka berpikir bahwa Paus hanya mengajar umat Katolik. Namun sebagai the Vicar of Christ, wakil Kristus di dunia, sebenarnya, Paus mempunyai tugas untuk mengajar semua orang. Otoritas Paus dalam mengajarkan doktrin sosial Gereja sifatnya tetap, tidak terpengaruh ‘masa jabatan’. Maka artinya:
1.        Paus yang sekarang ini mengajarkan sesuatu yang telah menjadi pengajaran Gereja sepanjang sejarah, dan tidak mengajarkan hal yang baru/ ‘inovasi’ yang dibuatnya sendiri.
2.        Demikian pula, ajaran para Paus di masa lampau tetap berlaku. Contohnya, surat ensiklikal Centesimus Annus dari Paus Yohanes Paulus II ditulis berdasarkan Rerum Novarum dari Paus Leo XIII dan Quadragesimo anno dari Paus Pius XII. Dan yang baru-baru ini surat ensiklik Caritatis in Veritate dari Paus Benediktus XVI merupakan pengembangan/ kelanjutan dari surat-surat ensiklik dari para Paus pendahulunya tersebut. Dalam surat ensikliknya, khususnya Rerum Novarum dan Centesimus Annus, Paus mendorong dibentuknya kegiatan dan lembaga sosial dalam masyarakat yang sifatnya untuk mendukung masyarakat itu sendiri, namun harus dilihat dasarnya, bahwa semua itu adalah untuk menerapkan hukum kasih dalam masyarakat.
Memang dalam hal ini Gereja tidak mengajarkan penemuan suatu sistem bisnis/ pengaturan masyarakat, namun Gereja mengajarkan prinsip-prinsip dasarnya demi mengarahkan umat manusia kepada kekudusan, sehingga manusia dapat mencapai tujuan akhirnya, yaitu surga. Semua perkembangan di dunia tidak boleh menghalangi manusia untuk mencapai tujuan akhir ini. Maka dengan demikian, ajaran sosial Gereja tidak terbatas pada mendirikan rumah sakit atau keterlibatan politik, atau “teologi sosial politik” seperti yang pernah anda dengar.

ASG ditentukan oleh factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dunia dari masa ke masa.
Dibandingkan dengan disiplin teologi lainnya, ASG mengalami perkembangan terus menerus seiring perkembangan waktu yang ditentukan oleh sumber isinya, baik factor- faktor “ideal” (yaitu gagasan filosofis-teologisnya), perkembangan factor-faktor “real-situasional” (yaitu perkembangan dunia dan zaman dengan segala permasalahannya, maupun perkembangan dalam argumentasinya.

Contoh perkembangan  tersebut:

Pada zaman Paus leo XIII sampai Pius XI, hal-hal yang disoroti dan mempengaruhi ASG adalah masalah-masalah liberalism, kapitalisme, yang menimbulkan masalah perburuhan, perubahan struktur social, system upah dan ketenagakerjaan yang tidak adil, dan sebagainya (RN 1891, QA 1931.
Pada zaman Pius XII sampai Yohanes XXIII, menyoroti masalah-masalah perang dan perdamaian, hubungan antar bangsa (blok barat dan blok timur) dan masa perang dunia dan perang dingin (amanat-amanat 1939-1958, PT 1963)
Pada zaman Paulus VI dan sekitar Konsili Vatikan II, menyoroti paham hubungan antara Gereja-dunia serta segala impliasinya (GS 1965), masalah dunia ke-3 dan perkembangan bangsa-bangsa (PP 1967), masalah masyarakat industry modern (QA 1971), keadilan di dunia (Sinode 1971) dan evangelisasi serta pembebasan (EN 1975)
Pada zaman Yhanes Paulus II dan Benediktus XVI, menyoroti masalah keluarga (FC 1981), makna kerja (LE 1981), Teologi pembebasan (LN 1984, LC 1986), wanita (MD 1989), dosa sosial, dunia yang terkotak-kotak, perkembangan sejati, ekologi ( SRS 1987), konstelasi dunia pasca perang dingin dan ambruknya komunisme (CA 1991), serta pelayanan kasih (DCE 2005).
Perkembangan argumentasi :
Pada zaman Paus Leo XIII sampai Paulus VI, argumentasi lebih berdasarkan “hukum kodrat”, sejak Konsili Vatikan II dan Yohanes Paulus II, argumentasi lebih pada argumentasi antropologis (kesatuan tata penciptaan dan tata penebusan).

Hubungan yang lama dengan yang baru

Dalam perkembangan tersebut, meskipun terjadi perubahan-perubahan, terutama dalam tema dan argumentasi, antara satu ASG dengan ASG yang terbit berikutnya tidak terpisahkan. Mereka masih memiliki hubungan dan kesatuan tersebut adalah:
·         Membangun yang sudah ada
·         menjernihkan kesan kurang tepat atau salah paham atas yang sebelumnya.
·         Mengembangkan dan memperdalam lebih lanjut tema-tema atau argumentasi sebelumnya
·         Menanggapi masalah-masalah baru dengan menggunakan prinsip dan nilai yang sudah ada sebelumnya, dan dengan demikian memperluas cakupan ASG tersebut.
·         menyesuaikan dengan keadaan (real-situasional)

ASG dalam konteks perkembangan kesadaran sosial Gereja.

Dalam ASG tercermin kesadaran Gereja bahwa masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi dan berkembang tidak berada diluar tanggung jawab Gereja. Kesadaran akan perkembangan struktur-struktur sosial tersebut berkembang dalam tiga tahap:
1.      Tahap Karitatif, pendekatan ini didorong oleh Caritas Allah sendiri yang hidup dalam Roh Kudus untuk secara langsung memberi perhatian kepada sesama yang lapar, haus telanjang, dipenjara, lemah miskin. Pendekatan ini adalah secara langsung mencoba memberi apa yang secara fisik-material diperlukan.
2.      Tahap Ajaran Sosial, pendekatan ini berbeda dengan pendekatan karitatif. Tahap ini lebih menitikberatkan pada akar masalah sosialnya, yaitu pada struktur sosialnya. Untuk membantu orang lapar, haus, telanjang, dipenjara, dan lemah-miskin, harus diubah struktur sosial yang menyebabkan keadaan itu terjadi. Erbuatan karitatif sosial tidak akan mengubah keadaan.
3.      Tahap Himbauan profetis dan solidaritas praktis, mulai zaman Yohanes XXIII (SRS) muncul sebuah dimensi baru dalam pendekatan ASG. Gereja menyadari bahwa menyelesaikan masalah sosial tidak cukup hanya dengan memberikan ajaran saja. Ketidakadilan bercokol pada struktur-struktur kekuasaan ekonomis, politis, sosial dan budaya yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan masif kelas sosial dan individual yang berkuasa. Hal ini hanya bisa diatasi dengan tindakan nyata, tindakan dalam dimensi politik, yaitu maklumat profetis dan solidaritas praktis umat beriman awam. Maklumat profetis berada dalam memaklumkan nilai dan sikap Injili secara terbuka dan konkrit dalam situasi, masalah dan tantangan hidup sehari-hari. Sedangkan solidaritas praktis berarti berada di sisi mereka yang diperlakukan tidak adil, perlu dukungan dan pembebasan, dan ikut melakukan secarapraktis apa yang dikehendaki Allah dalam cahaya Injil.



PRINSIP-PRINSIP POKOK AJARAN SOSIAL GEREJA
1.        Kesejahteraan Umum
Kesejahteraan umum termasuk jantung ASG. Pemikir Perancis, Jacques Maritain (1882-1973), salah seorang tokoh penting dalam kebangkitan kembali ajaran Thomas Aquinas, berpandangan bahwa kesejahteraan umum harus mencangkup pelayanan umat manusia yang dikarunia hak kodrati. Menurutnya, kesejahteraan umum tidak hanya mencangkup pemenuhan hal-hal duniawi, tetapi juga melibatkan nilai rohani umat manusia, seperti hak-hak manusia, kebebasan, kemakmuran jasmani dan rohani.
Berdasarkan ulasan-ulasan Mater et Magistra, David Hollenbach melukiskan kesejahteraan umum sebagai kenyataan sosial yang didalamnya semua orang saling berbagi dan menolong. Kesejahteraan umum dilukiskan sebagai “seperangkat keadaan sosial yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kesempurnaan dalam hidupnya secara utuh.
Sifat kesejahteraan umum seperti terlukis dalam Gaudium et Spes tidak bisa dimengerti hanya sebagai pemenuhan tuntutan kondisi sosial sekelompok orang. Kesejahteraan itu mencangkup jaminan akan hak-hak manusia, yang universal dan tak tergeserkan, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, penghargaan, dan atas perbuatan sesuai dengan hati nurani.
     Kesejahteraan umum adalah tujuan, maksud dan sasaran sebuah masyarakat. oleh karena itu masyarakat dan Negara wajib membela kesejahteraan umum sebagai bagian dari hak-hak dasar manusia. Masyarakat dan Negara harus mengembangkan semua cabang hidup yang mendukung kesejahteraan umum, seperti mengadakan pelayanan sosial, perawatan kesehatan, kegiatan-kegiatan budaya, dan lain-lain.
2.        Solidaritas
Sebuah analisis yang menyeluruh telah menghasilkan pengertian bulat tentang penggunaan istilah “solidaritas” (kesetiakawanan) dalam ASG, yaitu:
Pertama, sebelum Konsili Vatikan II kotbah dan ensiklik kepausan terutama oleh Paus Pius XII selalu memegang gagasan tentang solidaritas dalam ASG sebagai buah pemersatu umat manusia. Semua manusia berasal dari dan memiliki kemanusiaan yang sama. Dasar pemersatu umat manusia terletak pada asal-muasal yang sama, yaitu Tuhan Pencipta langit dan bumi. Hanya ada satu Allah yang menjadi Bapa semua orang. Kesatuan umat manusia berakar dalam kesamaan kodrat, misi di dunia dan tujuan adikodrati mereka. Jadi solidaritas disini mengacu pada situasi dimana semua manusia terikat satu dengan yang lain. Mereka saling melengkapi dengan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada sehingga mereka sanggup membangun kesatuan yang kuat.
Kedua, Konsili Vatikan II mengembangkan makna istilah solidaritas. Gagasan utama mengenai solidaritas ditemukan dalam persamaan kedudukan manusia sebagai putera-puteri Allah. Gagasan dasar mengenai solidaritas terletak dalam kodrat manusia dan bersatunya kedudukan di antara semua manusia dalam sebuah keluarga. Semua manusia diciptakan oleh Allah yang satu dan sama, Bapa kita. Dasar pemikiran ini dibaharui oleh penjelmaan Yesus sebagai manusia.
Ketiga, dalam Populorum Progessio, Paus Paulus menekankan dimensi universal dalam istilah “solidaritas”. Seraya memberikan tekanan pada kewajiban setiap bangsa yang maju untuk membantu mengembangkan diri bangsa-bangsa lain. Dia menggarisbawahi bahwa setiap bangsa wajib menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau menyumbangkan kemajuan bagi seluruh umat manusia.
Jadi, prioritas yang harus diberikan untuk mewujudkn solidaritas sosial jika setiap warga masyarakat itu pertama-tama dilihat sebagai manusia. Rasa setia kawan memampukan seeorang melihat orang lain bukan sebagai “alat” yang dimanfaatkan, melainkan sebagai “tetangga” dan “penolong”  (Kej. 2:18-20) yang diajak serta dalam perjamuan hidup.
3.        Subsidiaritas
Pengertian dasar tentang subsidiaritas dalam ASG berpijak pada pandangan Paus Pius XI dalam QA bahwa merupakan prinsip dasar falsafah sosial, yang tak tergoyahkan dan tak tergantikan. Dari kodratnya, tujuan sejati dari semua kegiatan sosial hendaknya membantu para anggota badan sosial dan bukan sekali-kali membinasakan dan menghisap mereka.
Dalam menafsirkan prinsip subsidiaritas ini, salah seorang arsitek ensiklik, O. von Nell Breuning, mengatakan bahwa prinsip ini menyinggung bantuan yang diberikan sebuah masyarakat kepada warganya. Bantuan terbaik ialah bantuan yang menolong “membantu diri sendiri”. Semua bantuan, termasuk bantuan dari orang tua kepada anak-anaknya, harus menciptakan dan memajukan kemampuan menentukan nasib diri sendiri para ahli warisnya. Kedua aspek pokok ini ialah “membantu diri sendiri” dan “berkembang dengan kemampuan diri sendiri”. Jika seseorang memaksakan pertolongannya pada orang yang miskin, dia bukan membantu si miskin, justru akan melanggar pegangan hidup “berdikari”
Paus Yohanes XXIII membangun subsidiaritas diatas prinsip Paus Pius XI dengan menggarisbawahi perlunya menjamin kemandirian dan kebebasan setiap manusia, keluarga dan masyarakat. Prinsip ini mencoba membantu manusia mengungkapkan pendapatnya secara spontan dan aktif. Jiwa kemandirian sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang kuat dan bermasa depan.
4.        Partisipasi
Istilah “berpartisipasi” mengandung pengertian pasif sekaligus aktif. Dalam pengertian pertama, artinya: turut ambil bagian dalam sesuatu atau berhak atas bagian tertentu. Dalam pengertian yang kedua, berarti: bekerjasama melalui tindakan sendiri yang bebas dengan orang bebas-bebas lainnya untuk suatu usaha patungan. Pengertian aktif ditandai dengan kerja sama dengan orang lain, yang tidak begitu jelas diperlihatkan seperti dalam pengertian pasif. Istilah partisipasi mengandaikan kebebasan. Partisipasi tidak dapat dimengerti tanpa kebebasan manusia dalam suatu usaha. Partisipasi dapat hadir hanya dalam dunia manusia dan bergantung pada kebebasan, dan kebebasan diwujudkan dalam berpartisipasi.
Masyarakat yang menghormati partisipasi aktif warganya ditandai oleh penghargaan atas kemandirian manusia dan atas hak-hak manusia berkenaan dengan kekuasaan rakyat. Partisipasi dalam hidup bermasyarakat menjadi syarat yang tak terelakkan bagi kemajuan manusia dan masyarakat. latar belakang ialah bahwa semua manusia mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk ikut serta dalam semua kegiatan sosial. Hal ini melalui prinsip-prinsip seperti kesejahteraan bersama, keadilan sosial, dan pengembangan manusia. Hak berpartisipasi disini mencakup kewajiban manusia dalam meningkatkan kemajuan sosial.
NILAI-NILAI MORAL DASAR DALAM ASG
1.      Cinta kasih
Cinta kasih tampak dalam Rerum Novarumsebagai dasar dan mesin utama pendorong kepedulian Gereja bagi hidup bermasyarakat. Gejala ini mencerminkan kesetiaan Gereja dalam tugas panggilannya yang harus menolong kaum tak berdaya, kecil dan tertindas untuk meraih kesejahteraan mereka. Kehidupan murid-murid pertama pada zaman Gereja Purba, memberikan contoh bagi hidup persaudaraan sejati atas dasar saling bantu dan mereka hidup saling serasi diantara sesame Kristiani. “Tidak ada seorangpun yang kekurangan diantara mereka” (Kis. 4:34).
Seraya menjabarkan kasih ini kedalam kehidupan nyata, Gereja menjadi ibu bagi semua orang miskin dan kayya. Sebagai ibu, Gereja memperhatikan semua orang, semua golongan dan semua pihak dalam hidup sosial. Gereja diilhami dan disemangati oleh kepahlawanan kasih yang tidak menyingkirkan korban kekerasan dan ketidakadilan tanpa memberikan pertolongan.
Dalam Rerum Novarum, Paus Leo XIII mengatakan bahwa cinta kasih pertama-tama ditandai oleh kemurahan hati seseorang dan kesediaannya berkorban bagi orang-orang lain. Kasih tetap tegar melawan semua bentu kebanggaan dan egoism di dunia. Cinta kasih tidak mementingkan diri sendiri dan tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain. Dalam dirinya cinta kasih merupakan intisari Kabar Baik. Cinta kasih mendatangkan keselamatan yang merangkul seluruh dunia dan segenap kandungan didalamnya.
Paus Yohanes XXIII dalam Mater et magistra menyatakan bahwa kasih akan Allah menjadi sumber cinta kasih Kristiani. Pentingnya makna cinta kasih ini dapat dinilai dari sikap seseorang terhadap Allah, sebab cinta kasih berasal dari Dia. Yang sungguh-sungguh mencintai Allah dengan sendirinya, akan mencintai sesame manusia sebagai amkhluk ciptaan-Nya. Mencintai ciptaan-Nya berarti mencintai Sang Pencipta.

2.      Keadilan Sosial
Gagasan tentang keadilan dalam hubungan sosial dengan kepentingan-kepentingan manusia yang pada hakikatnya saling terkait dan berdasarkan martabat manusia. Nilai moral menuntun manusia untuk saling menghormati martabat dan hak-hak manusia dalam setiap bidang hidup. Seorang manusia selalu butuh dipandang sebagai manusia. Keadilan sejati menuntut agar setiap orang dilihat dan dihargai sebagai makhluk Allah. Semua manusia termasuk hamba dan pekerja, dalam keadaan apapun hendaknya tidak diperbudak. Mereka adalah manusia dan makhluk ciptaan Allah yang memiliki kekudusan dalam dirinya.
Keadilan merupakan kaidah dasar hubungan sosial dalammenghapus dan mencegah aneka bentuk kerenggangan sosial. Keadilan yang sama juga ditekankan pada semua tingkat hubungan sosial antar umat manusia. Bila azas keadilan diterapkan pada situasi sosial konkrit, semua kegiatan usaha dalam kelompok sosial meningkat baik. Dewasa ini keadilan lebih dituntut dalam sector-sektor konflik kepentingan daripada disektor-sektor lain.
Keadilan dalam ASG adalah suatu kebajikan yang melampaui kebajikan perorangan. Menurut Paus Paulus VI, keadilan merupakan nilai moral yang membangun semua hubungan hidup bersama dalam setiap bidang kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama. Nilai ini secara halus mengharuskan semua orang, keluarga, dan kelompok sosial dalam proses mencapai kesejahteraan bersama, yang berbeda dengan kesejahteraan perorangan. Dimensi sosial mendapat penekanan dalam keadilan dan itu berasal dari gagasan akan perdamaian.
Dalam pengantar Rerum Novarum, Paus Leo XIII mengemukakan gagasan tentang keadilan dan kesetaraan sebagai prinsip-prinsip dasar dalam memecahkan dan megatasi masalah-masalah sosial pada akhir abad ke XIX. Keadilan harus terdapat diantara kaum kaya dan kaum miskin. Sesuai etika, hendaknya keadilan diterapkan dalam sector distribusi dan menjadi sarana pembela martabat manusia.
Sebagai pengganti Paus Leo XIII, Paus Pius XI mengikuti alur pikir yang sama seperti pendahulunya. Hubungan antara pemimpin dan karyawan harus berdasarkan keadilan. Hubungan inilah ynag menentukan upah bagi para karyawan. Menentukan besarnya upah harus berdasarkan kepatutan tiga unsur berikut ini: (1) Kebutuhan karyawan dan keluarga; (2) kondisi pabrik/tempat kerja; (3) tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum. Paus Pius XI mengatakan bahwa hubungan pribadi antara majikan dan karyawan tak tergantikan oleh ketentuan resmi apapun. Hubungan manusiawi tinggal tetap tak berubah untuk selamanya sebgai dasar keadilan.

3.      Bebas Merdeka
Lahirnya gagasan ini sangat terkait dengan dimensi hakiki perutusan Gereja, yaitu mengembangkan martabat dan kemerdekaan manusia sebagai bagian nilai-nilai Injili. Oleh karena itu untuk mendapatkan pengertian yang cukup mengenai gagasan kebebasan dalam ASG, perlu dipelajari dua dari ensiklik oleh Paus Leo XIII, yang diterbitkan sebelum Rerum Novarum, yaitu: Immortale Dei (Negara menurut Konstitusi Kristiani, 1 November 1885) dan Libertas (Kodrat kebebasan manusia, 20 Juni 1888). Kedua ensiklik ini secara khusus dipilih karena dengan jelas dan tegas Paus Leo XIII menyebut kebebasan dengan merujuk pada Rerum Novarum dank arena ensiklik-ensiklik itu diterbitkan demi kebaikan Gereja dan untuk keselamatn bersama umat manusia.
Merujuk ajaran kebebasan Paus Leo XIII sekurang-kurangya terdapat tiga tafsiran utama:
Pertam a, Andrea Oddone, penulis “Budaya Katolik”, melukiskan Gereja Katolik sebagai “penjaga” kebebasan sejati para warganya ketika gereja berjuang menentang tindakan sewenang-wenang Negara.
Dia menulis,Paus Leo XIIIdalam Ensikliknya “Libertas” menegaskan bahwa kelihatan semakin besar pengaruh Gereja dalam memelihara dan melindungi kebebasan sipil dan politik bangsa-bangsa, baik dengan menghapus perbudakan, baik dengan memulihkan keluarga, baik dengan menentag kesewang-wenangan pemerintah dan melindngi orang tak bersalah dan orang lemah terhadap tindakan kekerasan oleh orang kuat, maupun dengan mengalahkan sedemikian banyak peraturan politik yang menggangu dinegara-negara dengan persamaan derajat yang disukai oleh warga dan disegani oleh kekuatan asing.
Kedua, dalam analisis ajaran Paus Leo XIII mengenai kebebasan, Vicenzo mangano menulis bahwa ditemukan adanya perbedaan ynag jelas antara kebebasan yang dikehendaki Tuhan dan kebebasan ynag disalah-gunakan manusia yang mendatangkan sebegitu banyak masalah dan kesalahan.
Ketiga, para penulis dewasa ini memiliki pandangan berbeda atas ajaran Paus Leo XIII mengenai kebebasan. Menurut Charles E. Curran, Paus Leo XIII mencela kebebasan modern. Paus ini tidak termasuk pembela kebebasan sipil dan kebebasan modern. Segaris dengan Curran, Paul Sigmun mencatat, Paus Leo XIII menegaskan kembali kecaman-kecaman para pendahulunya terhadap tidak adanya kebebasan beribadah, menyatakan diri, dan mengajar, dengan menuduh kaum liberal menjadikan “Negara berkuasa mutlak dan mahakuasa” dan menyatakan hendaknya orang hidup  sama sekali tidak tergantung kepada Allah.

DOKUMEN-DOKUMEN ASG
Dari Rerum Novarum hingga zaman kita sekarang ini
Sebagai tanggapan terhadap masalah sosial besar yang pertama, Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial yang pertama, Rerum Novarum. Ensiklik ini membedah kondisi para pekerja upahan, yang secara khusus menyusahkan para pekerja industri yang merana dalam kesengsaraan yang tidak manusiawi. Masalah kerja dikaji seturut berbagai matranya yang sebenarnya. Masalah itu diselidiki dalam semua bentuk ungkapannya di bidang sosial dan politik sehingga sebuah penilaian yang tepat bisa dibuat dalam terang prinsip-prinsip doktriner yang dilandaskan pada pewahyuan dan pada hukum kodrati serta moralitas. Rerum Novarum mendaftarkan sejumlah kesalahan yang menimbulkan berbagai penyakit sosial, menafikan sosialisme sebagai obat penyembuh serta menguraikan secara persisi dan dalam bingkai kontemporer “ajaran Katolik menyangkut kerja, hak kepemilikan,
prinsip kerja sama alih-alih perjuangan kelas sebagai sarana hakiki bagi perubahan sosial, hak-hak kaum lemah, martabat kaum miskin.
kewajiban-kewajiban kaum kaya, penyempurnaan keadilan melalui cinta kasih, serta hak untuk membentuk serikat-serikat profesi.” Rerum Novarum menjadi dokumen yang mengilhami karya Kristen di bidang sosial dan titik acuan untuk karya ini. Tema utama ensiklik ini adalah penataan masyarakat secara adil, seraya mengingatkan adanya kewajiban untuk mematok kriteria penilaian yang akan membantu menakar sistem-sistem sosio-politik yang ada dan menganjurkan haluanhaluan tindakan bagi pembaruan sistem-sistem tersebut secara tepat.
Rerum Novarum menelisik masalah-masalah kerja dengan menggunakan sebuah metodologi yang kemudian menjadi “suatu paradigma yang berkanjang” bagi perkembangan-perkembangan selanjutnya dalam ajaran sosial Gereja. Prinsip-prinsip yang ditegaskan Paus Leo XIII kelak diangkat kembali dan dipelajari secara lebih mendalam dalam ensiklik-ensiklik sosial selanjutnya. Keseluruhan ajaran sosial Gereja dapat dilihat sebagai sebuah pemutakhiran, sebuah analisis yang lebih mendalam serta sebuah perluasan terhadap intipati asali dari prinsip-prinsip yang disajikan dalam Rerum Novarum. Bersama teks yang berani lagi berwawasan jauh ke depan ini, Paus Leo XIII “memberi Gereja semacam ‘status kewarganegaraan’ di tengah realitas-realitas kehidupan publik yang sedang berubah” dan membuat sebuah “pernyataan yang sangat tegas” yang kemudian menjadi “unsur permanen ajaran sosial Gereja”. Beliau mengakui bahwa masalah-masalah sosial yang berat “hanya akan dapat dipecahkan bila semua tenaga dan sumber daya dikerahkan secara terpadu” dan menambahkan bahwa “menyangkut Gereja, kerja sama dari pihaknya tidak akan pernah pudar”.
Pada permulaan tahun 1930-an, menyusul krisis ekonomi dahsyat tahun 1929, Paus Pius XI  menerbitkan Ensiklik Quadragesimo Anno, yang memperingati ulang tahun ke-40 Rerum Novarum. Sri paus membaca ulang masa lampau dalam terang situasi ekonomi dan sosial di mana ekspansi pengaruh kelompok-kelompok keuangan, baik secara nasional maupun internasional, ditambahkan pada dampak-dampak industrialisasi. Itu adalah kurun waktu pasca perang di mana rezim-rezim totaliter tengah
merangsek di Eropa malah ketika perjuangan kelas kian menjadi sengit. Ensiklik ini memperingatkan tentang kegagalan untuk menghormati kemerdekaan membentuk perserikatan dan menekankan prinsip-prinsip solidaritas dan kerja sama dalam rangka mengatasi berbagai kontradiksi sosial. Relasi antara modal dan kerja harus diwarnai oleh semangat kerja sama. Quadragesimo Anno menegaskan prinsip bahwa upah harus seimbang tidak saja dengan kebutuhan-kebutuhan pekerja tetapi juga dengan kebutuhan keluarganya. Negara, dalam relasinya dengan sector swasta, hendaknya menerapkan prinsip subsidiaritas, sebuah prinsip yang akan menjadi sebuah unsur tetap dari ajaran sosial Gereja. Ensiklik ini
menolak liberalisme, yang dipahami sebagai persaingan yang tidak terbatas antara kekuatan-kekuatan ekonomi, serta menegaskan kembali nilai harta milik pribadi, seraya mengingatkan fungsi sosialnya. Dalamsebuah masyarakat yang mesti dibangun kembali dari pijakan-pijakan ekonominya, sebuah masyarakat di mana ia sendiri seluruhnya menjadi“permasalahan” yang mestiditangani, “Pius XI merasakan tugas dan  anggung jawab untuk menggalakkan suatu kesadaran yang lebih besar, sebuah penafsiran yang lebih persisi serta sebuah penerapan yang mendesak atas hukum moral yang mengatur relasi-relasi insani ... dengan sasaran mengatasi pertikaian di antara kelas-kelas dan sampai pada sebuah tatanan sosial baru yang dilandaskan pada keadilan dan cinta kasih.” Paus Pius XI tidak lalai mengangkat suaranya melawan rezim-rezim totaliter yang tengah merangsek di Eropa pada masa kepausannya. Sudah pada tanggal 29 Juni 1931 beliau melancarkan protes menentang penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim fasis totaliter di Italia dengan Ensiklik Non Abbiamo Bisogno. Beliau menerbitkan Ensiklik Mit brennender Sorge, tentang situasi Gereja Katolik di bawah Reich Jerman pada tanggal 14 Maret 1937.
 Teks Mit brennender Sorge dibacakan dari atas mimbar di setiap Gereja Katolik di Jerman, setelah disebarkan dengan sangat rahasia. Ensiklik tersebut keluar setelah tahun-tahun kesewenang-wenangan dan tindak kekerasan, dan ensiklik itu secara tegas diminta dari Paus Pius XI oleh para Uskup Jerman setelah Reich menerapkan langkah-langkah yang kian keras dan represif pada tahun 1936, khususnya yang berkenaan dengan kaum muda yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Gerakan Kaum Muda Hitler. Sri paus berbicara secara langsung kepada para imam, biarawan dan kaum awam beriman, seraya memberi mereka dorongan serta meminta mereka berkanjang sampai suatu masa ketika perdamaian yang sejati antara Gereja dan negara akan dipulihkan kembali. Pada tahun 1938, berkenaan dengan penyebaran gerakan anti-Semitisme, Paus Pius XI menandaskan: “Secara rohaniah kita semua adalah orang-orang Semit.” Bersama dengan Surat Ensiklik Divini Redemptoris,158 tentang komunisme ateistik dan ajaran sosial Kristen, Paus Pius XI menyajikan sebuah kritik yang sistematis terhadap komunisme, dengan menyebutnya sebagai “yang secara intrinsik merupakan kejahatan”, dan menyiratkan bahwa sarana-sarana utama untuk membenahi kejahatan yang dilakukan olehnya dapat ditemukan dalam pembaruan kehidupan Kristen, praktik cinta kasih injili, pemenuhan tugas-tugas keadilan baik pada tingkat antarpribadi maupun sosial dalam kaitan dengan kesejahteraan umum, serta pelembagaan kelompok-kelompok profesi dan lintas-profesi.
Dalam Amanat Radio Natal Paus Pius XII, bersama dengan intervensi-intervensi penting lainnya menyangkut masalah-masalah sosial, refleksi Magisterium atas tatanan sosial baru yang dipandu oleh moralitas dan hukum, dan terpusat pada keadilan dan perdamaian, menjadi kian mendalam. Masa kepausan beliau mencakup tahun-tahun mengerikan Perang Dunia II serta tahun-tahun sulit pembangunan kembali. Beliau tidak menerbitkan ensiklik sosial namun dalam banyak konteks berbeda beliau secara berkanjang menunjukkan keprihatinannya bagi tatanan internasional, yang telah digoncangkan secara buruk. “Selama kurun waktu perang dan pasca perang, bagi banyak orang di semua benua dan bagi jutaan kaum beriman dan tidak beriman, ajaran sosial Paus Pius XII mewakili hati nurani universal ...
Dengan otoritas serta prestise moralnya Paus Pius XII membawa terang kebijaksanaan Kristen kepada tak terhitung banyaknya manusia dari setiap kategori dan tingkat sosial.” Salah satu corak khas dari berbagai intervensi Paus Pius XII ialah peran penting yang beliau berikan pada kaitan antara moralitas dan hukum. Beliau menekankan paham hukum kodrati sebagai jiwa sistem yang mesti dimapankan baik pada tingkat nasional maupun internasional. Segi penting lainnya dari ajaran Paus Pius XII ialah perhatiannya pada kelompok-kelompok profesi dan bisnis, yang dipanggil untuk bekerja sama secara khusus demi menggapai kesejahteraan umum. “Berkat kepekaan serta daya nalarnya dalam menangkap ‘tanda-tanda zaman’, Paus Pius XII bisa dipandang sebagai bentara langsung dari Konsili Vatikan II serta ajaran sosial para paus setelah beliau.”
Tahun 1960-an membawa banyak prospek yang menjanjikan: pemulihan setelah kehancuran perang, permulaan dekolonisasi, dan tanda lamat-lamat pertama tentang mencairnya hubungan antara blok Amerika dan blok Soviet. Inilah konteks di mana Beato Paus Yohanes XXIII membaca secara mendalam “tanda-tanda zaman”.  Persoalan sosial kian menjadi universal dan melibatkan semua negara: bersama dengan masalah kerja dan Revolusi Industri, tampillah ke permukaan masalahmasalah
di bidang pertanian, pembangunan, pertambahan penduduk serta masalah-masalah yang berkenaan dengan kebutuhan akan kerja sama ekonomi global. Berbagai ketimpangan di masa lampau yang dahulunya dialami di dalam bangsa-bangsa masing-masing kini menjadi masalah internasional dan menjadikan situasi dramatis di Dunia Ketiga kian gamblang. Beato Paus Yohanes XXIII, dalam ensikliknya Mater et Magistra, “bermaksud memutakhirkan dokumen-dokumen yang sudah diketahui serta mengambil satu langkah maju dalam proses melibatkan seluruh jemaat Kristen”. Kata-kata kunci dalam ensiklik ini adalah persekutuan dan sosialisasi: Gereja dipanggil dalam kebenaran, keadilan dan cinta kasih untuk bekerja sama dan membangun bersama semua orang sebuah persekutuan yang sejati. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi tidak akan dibatasi lagi pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, tetapi juga akan memajukan martabat mereka.
Melalui Ensiklik Pacem in Terris, Beato Paus Yohanes XXIII menampilkan ke latar depan masalah perdamaian di dalam sebuah zaman yang ditandai oleh proliferasi nuklir. Lebih dari itu Pacem in Terris mengandung salah satu dari banyak refleksi mendalam pertama tentang hak-hak pada pihak Gereja; ini adalah sebuah ensiklik tentang perdamaian dan martabat manusia. Ensiklik ini melanjutkan dan melengkapi pembahasan yang sudah dipaparkan dalam Mater et Magistra, dan mengikuti haluan yang sudah ditunjukkan oleh Paus Leo XIII, ensiklik ini menekankan pentingnya kerja sama semua orang. Itulah untuk pertama kalinya sebuah dokumen Gereja dialamatkan pula kepada “semua orang yang berkehendak baik”, yang dipanggil kepada sebuah tugas raksasa yakni: “memapankan metode-metode relasi baru dalam masyarakat manusia dengan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan”. Pacem in Terris menguraikan secara panjang-lebar otoritas publik masyarakat dunia yang dipanggil untuk “menangani dan memecahkan berbagai masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya yang disingkapkan oleh kesejahteraan umum segenap bangsa manusia” Pada perayaan ulang tahun ke-10 Pacem in Terris, Kardinal Maurice Roy, Ketua Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, mengirimkan kepada Paus Paulus VI sepucuk surat bersama dengan sebuah dokumen yang berisikan serangkaian refleksi tentang aneka rupa peluang yang disajikan oleh ajaran yang terkandung dalam ensiklik Paus Yohanes XXIII guna memberi terang pada masalah-masalah baru yang berkaitan dengan ihwal memajukan perdamaian.
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II merupakan sebuah tanggapan yang sarat makna dari pihak Gereja terhadap berbagai harapan dan kerinduan dunia dewasa ini. Dalam konstitusi ini, “selaras dengan pembaruan gerejawi, direfleksikan sebuah gagasan baru tentang bagaimana menjadi sebuah persekutuan kaum beriman dan umat Allah. Konstitusi tersebut membangkitkan minat baru berkenaan dengan doktrin yang termuat dalam dokumen-dokumen terdahulu tentang kesaksian dan kehidupan orang-orang Kristen sebagai caracara yang sejati menjadikan kehadiran Allah di dunia ini kasatmata.” Gaudium et Spes menampilkan wajah Gereja yang “mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya”, yang menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia dan
bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama, namun pada saat yang sama “hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia yang harus dibarui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah”.
Gaudium et Spes menyajikan secara sistematis tema-tema tentang kebudayaan, tentang kehidupan ekonomi dan sosial, tentang perkawinan dan keluarga, tentang masyarakat politik, tentang perdamaian dan masyarakat bangsa-bangsa dalam terang sebuah wawasan antropologi Kristen dan dalam terang tugas perutusan Gereja. Segala sesuatunya dikaji dari titik tolak tentang pribadi dan dengan maksud untuk pribadi,
yakni “satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri”. Masyarakat, struktur-strukturnya serta perkembangannya, mesti dikiblatkan kepada “pertumbuhan pribadi manusia”. Untuk pertama kalinya, Magisterium Gereja pada tingkatnya yang paling tinggi, berbicara secara panjang-lebar tentang segi-segi duniawi yang bermacam ragam dari kehidupan Kristen: “Mesti diakui bahwa perhatian yang
diberikan oleh konstitusi itu kepada berbagai perubahan sosial, psikologis, politik, ekonomi, moral dan religius telah kian merangsang keprihatinan pastoral Gereja untuk persoalan manusia dan dialog dengan dunia.”
 Dokumen lain dari Konsili Vatikan II yang sangat penting dalam kumpulan ajaran sosial Gereja adalah Pernyataan Dignitatis Humanae, di mana hak untuk kebebasan beragama dimaklumkan dengan sangat jelas dan tegas. Dokumen ini menyajikan tema tersebut dalam dua bab. Yang pertama, yang bercorak umum, menegaskan bahwa kebebasan beragama dilandaskan pada martabat pribadi manusia dan bahwa kebebasan itu mesti dikokohkan sebagai sebuah hak sipil dalam tatanan hokum masyarakat. Bab kedua mengkaji tema tersebut dalam terang wahyu serta menjelaskan dampak-dampak pastoralnya, sembari menunjukkan bahwa itu adalah sebuah hak yang tidak hanya bersangkut paut dengan orang sebagai individu tetapi juga dengan berbagai kelompok orang.
 “Perkembangan adalah nama baru untuk perdamaian,” demikian dimaklumkan secara mulia oleh Paus Paulus VI dalam ensikliknya Populorum Progressio, yang boleh dipandang sebagai satu pengembangan atas bab tentang ekonomi dan kehidupan sosial dalam Gaudium et Spes, biarpun dokumen itu memperkenalkan beberapa unsur baru yang penting. Secara khusus, ensiklik tersebut menyajikan kerangka tentang sebuah perkembangan terpadu manusia dan sebuah perkembangan dalam solidaritas dengan semua umat manusia: “Kedua topik ini harus dipandang sebagai poros di sekitarnya ensiklik ini diberi strukturnya. Dengan keinginan untuk meyakinkan para penerimanya tentang kebutuhan mendesak bagi tindakan dalam solidaritas, sri paus menampilkan perkembangan sebagai ‘peralihan dari kondisi yang tak layak manusiawi ke kondisi yang sungguh manusiawi’ dan menunjukkan cirri khas peralihan itu.” Peralihan dimaksud tidak terbatas semata-mata pada matra ekonomi atau matra teknologi tetapi mencakup pula hak setiap pribadi menyangkut kemahiran budaya, penghormatan terhadap martabat orang-orang lain, pengakuan akan “nilai-nilai yang amat luhur dan Allah sendiri yang menjadi sumber dan tujuannya”.
Perkembangan yang menguntungkan setiap orang mesti tanggap terhadap tuntutantuntutan keadilan pada sebuah skala global yang menjamin perdamaian sedunia serta memungkinkan tergapainya sebuah “humanisme yang terwujudkan seutuhnya” yang dibimbing oleh nilai-nilai rohani.  Dalam kaitan dengan hal ini, pada tahun 1967 Paus Paulus VI membentuk Dewan Kepausan “Iustitia et Pax”, dan dengan demikian
memenuhi keinginan para Bapa Konsili “untuk di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga Gereja universal yang misinya ialah mendorong persekutuan umat Katolik supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan sosial
internasional ditingkatkan.”
Oleh prakarsa Paus Paulus VI, bermula dengan tahun 1968 Gereja merayakan hari pertama dalam tahun sebagai Hari Perdamaian Sedunia. Sri paus yang sama memulai tradisi menulis amanat tahunan yang menelisik tema yang dipilih untuk Hari Perdamaian Sedunia itu. Amanat-amanat ini memperluas dan memperkaya kumpulan
ajaran sosial Gereja. Pada permulaan tahun 1970-an, dalam sebuah suasana pergolakan
dan kontroversi ideologis yang kuat, Paus Paulus VI berpaling kembali kepada ajaran sosial Paus Leo XIII dan memutakhirkannya, pada kesempatan ulang tahun ke-80 Rerum Novarum, dengan Surat Apostolik Octogesima Adveniens. Sri paus merefleksikan masyarakat pasca industri dengan segenap masalahnya yang serba rumit, seraya mencatatketidakmemadaian berbagai ideologi dalam menanggapi tantangantantangan ini: urbanisasi, kondisi kaum muda, kondisi kaum perempuan,
pengangguran, diskriminasi, emigrasi, pertumbuhan penduduk, pengaruh alat-alat komunikasi sosial, masalah ekologis.
Sembilan puluh tahun setelah Rerum Novarum, Yohanes Paulus II mempersembahkan Ensiklik Laborem Exercens bagi kerja sebagai kebaikan hakiki pribadi manusia, unsur utama kegiatan ekonomi serta kunci bagi seluruh persoalan sosial. Laborem Exercens memaparkan sebuah spiritualitas serta etika kerja dalam konteks refleksi teologis dan filosofis yang sangat mendasar. Kerja mesti tidak boleh dipahami hanya dalam arti objektif dan materiil, tetapi kita mesti mencamkan matra
subjektifnya, sejauh kerja selalu merupakan bentuk ungkapan pribadi.
Selain menjadi paradigma yang menentukan bagi kehidupan sosial, kerja memiliki martabat berupa konteks di mana panggilan kodrati dan adikodrati pribadi mesti menemukan pemenuhannya.
Melalui Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis,Yohanes Paulus II memperingati ulang tahun ke-20 Populorum Progressio dan sekali lagi menelisik tema perkembangan mengikuti dua garis fundamental: “di satu pihak, situasi dramatis dunia modern, di bawah aspek gagalnya pembangunan  Dunia Ketiga, dan di lain pihak, makna, syarat dan tuntutan untuk sebuah pembangunan yang layak bagi manusia.” Ensiklik ini menyajikan berbagai perbedaan antara kemajuan dan pembangunan, dan menandaskan bahwa “pembangunan yang sejati tidak dapat dibatasi pada penggandaan barang dan jasa – pada apa yang dimiliki seseorang – tetapi mesti memberi andil bagi kepenuhan ‘keberadaan’ manusia. Dengan demikian corak moral dari pembangunan yang nyata ditampakkan secara jelas.” Yohanes Paulus II, seraya merujuk pada moto kepausan
Paus Pius XII, “opus iustitiae pax” (perdamaian adalah buah keadilan), berkomentar: “sekarang dapat dikatakan dengan secermat itu dan atas kekuatan ilham alkitabiah yang sama pula (bdk. Yes 32:17; Yak 3:18), opus solidaritatis pax (damai merupakan buah solidaritas).”
Pada ulang tahun ke-100 Rerum Novarum, Yohanes Paulus II memaklumatkan
ensiklik sosialnya yang ketiga, Centesimus Annus, dari mana muncul kesinambungan doktrinal selama seratus tahun Magisterium sosial Gereja. Seraya mengangkat secara baru prinsip-prinsip fundamental pandangan Kristen tentang organisasi sosial dan politik, yang selama ini menjadi tema utama dari ensiklik sebelumnya, sri paus menulis: “Demikianlah apa yang sekarang ini disebut ‘prinsip solidaritas’ ... sering kali pula prinsip itu dikemukakan oleh Paus Leo XIII dengan istilah ‘persahabatan’ ... Paus Pius IX menyebutnya dengan istilah penuh makna ‘cinta kasih sosial’; sedangkan Paus Paulus VI berbicara tentang ‘peradaban cinta kasih’.”  Yohanes Paulus II menunjukkan bagaimana ajaran sosial Gereja bergerak melintasi poros kesetimbalan antara Allah dan manusia: mengakui Allah di dalam setiap pribadi dan setiap pribadi di dalam Allah merupakan syarat bagi perkembangan manusia yang sejati. Analisis yang jelas dan mendalam tentang “hal-hal baru”, dan khususnya terobosan besar tahun 1989 dengan tumbangnya system Soviet, memperlihatkan penghargaan terhadap demokrasi serta ekonomi pasar, dalam konteks sebuah solidaritas yang mutlak diperlukan.

c. Dalam terang dan di bawah daya dorong Injil
Berbagai dokumen yang dirujuk di sini merupakan tonggak sejarah dari jalan yang ditempuh oleh ajaran sosial Gereja dari masa Paus Leo XIII hingga ke zaman kita sekarang ini. Ikhtisar ringkas ini akan menjadi jauh lebih panjang bila kita mengkaji semua intervensi yang didorong, selain daripada sebuah tema khusus, oleh “keprihatinan pastoral untuk menyajikan kepada segenap jemaat Kristen dan kepada semua orang yang berkehendak baik prinsip-prinsip fundamental, kriteria serta pedoman universal yang cocok untuk menganjurkan pilihan-pilihan dasar serta praktik yang koheren untuk setiap situasi konkret.”
Dalam perumusan dan pengajaran ajaran sosial ini, Gereja sudah dan akan terus didorong bukan oleh motivasi teoretis melainkan oleh keprihatinan pastoral. Gereja terdorong maju oleh berbagai akibat pergolakan sosial terhadap bangsa-bangsa, terhadap banyak orang, terhadap martabat manusia itu sendiri, dalam konteks di mana “manusia dengan bersusah payah mengusahakan terwujudnya sebuah dunia yang
lebih baik, namun tanpa berupaya dengan semangat yang sama untuk mencapai kemaslahatan rohaninya”. Karena alasan-alasan ini maka muncullah ajaran sosial ini dan dikembangkan suatu “‘kumpulan’ ajaran yang dimutakhirkan ... [yang] terhimpun secara berangsurangsur, sementara Gereja, sambil mendambakan kepenuhan Sabda yang diwahyukan oleh Yesus Kristus dan atas dorongan Roh Kudus (bdk.Yoh 14-16,26;  16:13-15), membaca berbagai peristiwa tatkala peristiwaperistiwa tersingkapkan dalam bentangan sejarah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar