PENDAHULUAN
Acapkali
muncul pertanyaan seputar sikap Gereja menghadapi keadaan sosial, ekonomi,
kebudayaan dan politik dalam hidup sehari-hari. Bagaimanakah Gereja menyikapi
umat yang hidup melarat, tak cukup makan dan minum, tak bisa bayar uang obat,
tak bisa mengecapi pendidikan dasar? Apakah Gereja hanya meminta mereka untuk
berdoa dan memohon kepada Tuhan supaya Dia menolong untuk menghadapi
masalah-masalah yang sedang dihadapi? Atau, disamping memohon kepada Tuhan
dengan tekun, Gereja juga mengambil sejumlah tindakan nyata untuk mengeluarkan
mereka dari kungkungan sosial yang menyengsarakan, menyakitkan dan menekan
lahir dan batin?
Kaum kecil, tertindas dan
terpiggirkan termasuk bagian kemanusiaan yang dicabik-cabik dan diabaikan.
Kesetaraan manusia sebagai makhluk ciptaan mengalami pergeseran makna sosial.
Seorang anak manusia yang lahir dari keluarga petani pada dasarnya adalah
sederajat atau setara dengan seorang anak yang lahir dalam sebuah istana. Yang
membedakan mereka adalah tempat, lingkungan, dan suasana sosial kelairan.
Sedangkan, kemanusiaan dalam dirinya adalah satu dan sama. Inteligensi setiap
manusia pada hakekatnya setara, mungkin, kecuali anak-anak yang dilahirkan oleh
seorang ibu yang suka meneguk alcohol atau anak dari pasangan yang berhubungan
darah yang dekat. Manusia sebagai manusia adalah setara dan sejajar terlepas
dari segala embel-embel sosial dalam masyarakat.
LATAR BELAKANG
Sejak Gereja Purba, kesadaran dan kepedulian akan
kesejahteraan manusia sudah bertumbuh dan berkembang. Malah, sebelumnya,
terdorong oleh belas kasih terhadap orang banyak yang telah mengikuti-Nya
selama tiga hari, Yesus memperbanyak roti dan ikan sebagai makanan untuk
mereka, sehingga mereka bisa mengisi perut. Yesus tidak menyuruh mereka pulang
dengan lapar supaya mereka tidak rebah di jalan (Mat. 15:32-39). Ini sangat
sesuai dengan misi utama kedatangan Yesus untuk membawa Kabar Baik
ditengah-tengah masyarakat tanpa pilih kasih. Yang sakit disembukan, si buta
bisa melihat, si lumpuh berjalan, si lapar mendapat. Suka cita terjadi dari
dalam diri Yesus, Sang Juruselamat (Luk. 4: 17-19).
Sebagai sebuah lembaga rohani, Gereja Katolik tidak
pernah berdiam diri. Seruan kenabian (Amos, Habakuk) selalu didengungkan kala
muncul tekanan dalam bidang kemanusiaan, ketidakadilan sosial, diskriminasi dan
kekacauan sosial. Hati nurani tidak mungkin berdiam diri dan membiarkan manusia
lain hidup dalam tekanan dan penderitaan yang tak manusiawi.
Menjelang akhir abad ke XIX Gereja Katolik
kembali menyuarakan kepedulian dan keprihatinannya atas berbagai masalah social
di tengah masyarakat Eropa Barat. Keadaan hidup buruh pabrik, kesenjangan
social antara konglomerat dan kaun proletar, system penggajian yang jauh dari
keadilan dan kesejahteraan hidup yang memprihatinkan, sebagai dampak dari
lahirnya revolusi industry, mendorong Gereja untuk bersuara. Kala itu isilah
ASG belum digunakan secara terang-terangan, namun masih samar-samar. Tak heran,
Paus Leo XIII meluncurkan Ensiklik Rerum Novarum yang menerapkan
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran bagi hidup social yang sehat.
Pada
tahap-tahap awali, Ajaran Sosial Gereja merupakan refleksi atau usaha-usaha
orang beriman Kristiani yang bergumul dengan masalah-masalah sosial pada awal
dan pertengahan abad kesembilanbelas. Masalah-masalah sosial pokoknya disamakan
dengan masalah buruh dan masalah buruh disebabkan oleh perkembangan industry
serta oleh system ekonomi liberalis, namun masalah buruh semula dipandang oleh
orang Katolik terutama sebagai tantangan bagi “caritas” Kristiani. Maka usaha
sosial yang pertama itu mau “menolong” orang-orang yang terlantar dalam proses
industrialisasi itu. Jauh sebelum Magisterium Gereja angkat bicara dalam
masalah-masalah buruh, ada usaha kaum awam dan para pastor untuk membantu kaum
buruh.
Baru
lama-kelamaan masalah buruh disadari sebagai masalah “kemasyarakatan”, terutama
dibawah pengaruh Karl Mark, dan karena desakan oleh gerakan sosialis dan komunis.
Dengan ensiklik sosialnya, Paus Leo XIII ingin menunjukan interesse Gereja
Katolik pada masalah kaum buruh, jangan sampai buruh-buruh seluruhnya
meninggalkan Gereja. Juga usaha sosial para pastor dan gerakan-gerakan awam
serta dokumen-dokumen ajaran perlu dimengerti atas latar belakang pengaruh
pemikiran Karl Mark dan dalam perlawanan dengan gerakan sosialis dan komunis.
Dan tertutama dalam perdebatan dengan sosialisme dan komunisme, ASG benar-benar
menjadi ajaran, yaitu sebagai antropologi Kristiani. ASG bukan hanya suatu
kesimpulan teori yang berawal dari keterlibatan praktis atau suatu refleksi
atas masalah-masalah sosial yang dihadapi orang Kristiani bersama dengan semua
orang yang berkehendak baik. ASG mengembangkan gambaran Kristiani mengenai manusia
dan panggilannya yang transenden dengan implikasi-implikasinya yang sosial.
Masalah
“majikan dan buruh” merupakan pusat perhatian pada tujuhpuluh tahun pertama
dari Ajaran Sosial Gereja. Namun dengan perubahan politik setelah Perang Dunia
II, masalah sosial (antara buruh dan modal) menjadi masalah mondial (antara
Negara industry dan bermodal- yang pada umumnya sama dengan kuasa colonial –
dengan negara-negara yang biasanya disebut “sedang berkembang” – yang pada
umumnya baru memperoleh kedaulatan politik). Tema “perkembangan” menggantikan
tema “masalah buruh” menjadi perhatian pokok dalam ajaran sosial oleh
Magisterium Gereja dan dalam usaha-usaha banyak gereja setempat, untuk
merumuskan tanggungjawab orang Kristen dalam masalah-masalah kemasyarakatan dewasa
ini. Masalah sosial tidak lagi terbatas pada lingkungan satu Negara atau
lingkungan kebudayaan dan daerah ekonomi tertentu. Sebab tanggungjawab sosial
memperhatikan hidup bersama secara damai dalam keseluruhan umat manusia dan
masa depan yang terpelihara.
Istilah ajaran (doktrin) dalam konteks ini
terkait dengan Kabar Baik (Injil) dan Gereja. Kabar Baik selalu menunjuk pada
Yesus yang datang kedunia untuk menyembuhkan, memberikan makan kepada yang
lapar, menghibur, menguatkan, mengampuni dan menyelamatkan. Ini berarti Gereja
berupaya menyalurkan karya keselamatan bagi semua orang. Gereja pada dasarnya
menolong mereka yang miskin, kecil, dan disingkirkan dari percaturan hidup
social. Karena yang disalurkan adalah ajaran, maka Gereja berperan sebagai guru
(magistra) atau pengajar yang menyampaikan arahan-arahan dalam hidup bersama
sebagai sebuah masyarakat. sikap dan langkah apakah yang seharusnya diambil
dalam menghadapi kenyataan sosial? “Doktrin” dan “filsafat Kristiani” pada
Rerum Novarum mengacu pada ASG.
Empat puluh tahun sesudah RN, Paus Pius XI
mengedarkan Quadragesimo Anno (1931). Dalam ensiklik ini Gereja dengan jelas,
tegas dan resmi menggunakan istilah ASG. Gereja terutama berbicara mengenai
ajaran social yang terkait dengan hidup dan keadilan social dalam masyarakat.
Sebuah kepedulian akan gejala ketidakadilan social mendorong Gereja untuk
bersuara dan memperjuangkan kesejahteraan manusia sesuai dengan nilai keadilan. Ketidakadilan social
sudah sebegitu tersebar sehingga dunia mendambakan keadilan yang mencangkup
semua bidang hidup manusia.
Dalam
pesan radio kepada para pastor paroki dan umat di Roma mengenai penafsiran atas
Kesepuluh Perintah Allah, Paus Pius XII dengan tegas menggunakan istilah ASG.
Para penggantinya seperti Paus Yohanes XXIII juga mengambil alih istilah ini
dan menggunakannya secara luas dalam ensiklik-ensikliknya. Walaupun istilah ini
tidak secara eksplisit digunakan dalam Rerum Novarum, namun apa yang
dimaksudkan Paus Leo XIII dengan kata “doktrin” dan “Filsafat Kristiani”
sebenarnya adalah ASG. Kemudian istilah ASG digunakan oleh Paus Pius XI secara
pasti dan sejak saat itu para Paus dan penggantinya secara aman menggunakannya
dalam berbagai kesempatan
ASG dimaksudkan untuk menjadi pedoman,
dorongan dan bekal bagi banyak orang Katolik dalam perjuangannya ikut serta
menciptakan dunia kerja dan beragam relasi manusia yang terhormat dan
masyarakat sejahtera yang bersahabat dan bermartabat. Dengan bekal dan pedoman
ajaran social, mereka diharapkan menjadi rasul awan yang tangguh dan terus
berkembang di tengah kehidupan real.
PENGERTIAN
Dalam pengertian yang lebih komprehensif, ASG
merupakan tanggapan atau respon umat beriman atas persoalan-persoalan sosial
atau kemasyarakatan, baik dalam bidang ekonomi, polotik, sosial, lingkungan
hidup (ekologi) maupun kebudayaan. Ia merupakan perspektif, pemikiran dan sikap
orang beriman dalam menanggapi persoalan-persoalan zamannya. ASG yang tertuang dalam Ensiklik Rerum Novarum
(Mei 1891) sampai Ensiklik Deus Caritas Est (Desember 2005) mencermati,
merefleksikan dan menawarkan nilai-nilai sebagai pedoman arah bagi umat beriman
Kristiani dalam menanggapi berbagai masalah social yang muncul. Ajaran Sosial
Gereja bukan hanya sekadar himpunan doktrin social tentang hidup menggereja,
tapi merupakan sebuah filsafat hidup social Gereja yang berkembang dari zaman
ke zaman. Sebagai bagian dunia dan masyarakat Gereja tidak mungkin hidup tertutup
tanpa keterkaitan dengan dunia sekitar. Keadaan di dalam Gereja dan hidup
social saling terkait, melengkapi dan menyempurnakan.
Ajaran Sosial Gereja atau ASG
berisikan ajaran Gereja tentang permasalahan keadilan di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. ASG berusaha membawakan terang Injil ke
dalam persoalan keadilan sosial di tengah jaringan relasi masyarakat yang
begitu kompleks. Dengan kata lain, ASG berusaha mengaplikasikan ajaran-ajaran
Injil ke dalam realitas sosial hidup bermasyarakat di dunia. Tujuan ASG adalah
menghadirkan kepada manusia rencana Allah bagi realitas sekular dan menerangi
serta membimbing manusia dalam membangun dunia seturut rencana Tuhan (bdk.
Hervada).
Secara sempit
ASG dimengerti sebagai kumpulan aneka dokumen (umumnya disebut ensiklik) yang
dikeluarkan oleh Magisterium Gereja dan berbicara tentang persoalan-persoalan
sosial. Dokumen-dokumen tersebut antara lain Rerum Novarum (tentang
kondisi buruh, dikeluarkan oleh Paus Leo XIII tahun 1891), Quadragessimo
Anno (tentang pembaharuan tatanan sosial oleh Paus Pius XI tahun 1931), Mater
et Magistra (tentang umat kristiani dan persoalan-persoalan sosial di dunia
oleh Paus Yohanes XXIII tahun 1961), hingga yang terakhir untuk sementara ini,
yakni Centesimus Annus (1991). Ensiklik terakhir ini berisi penegasan
Paus Yohanes Paulus II bahwa Ajaran Sosial Gereja termasuk dalam ajaran resmi
iman dan tergolong dalam antropologi teologis. Antropologi teologis dimengerti
sebagai teologi tentang manusia yang telah ditebus dan dirahmati oleh Kristus.
Kita masih bisa
memasukkan dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh konferensi para uskup dari
berbagai negara. Pertemuan para uskup dari bumi Amerika Latin di Medelin
melahirkan dokumen-dokumen yang kemudian dikenal dengan dokumen Medelin pada
tahun 1968. Para uskup Amerika Serikat mengeluarkan Surat Pastoral berjudul Economic
Justice for All (Keadilan Ekonomi bagi Semua) di tahun 1986. Dari KWI kita
mengenal Surat Gembala tentang Pemilu, Nota-nota Pastoral 2003-2005, dsb.
Dokumen-dokumen
sosial dari para uskup tersebut mencerminkan pergulatan Gereja dalam usaha
menghadirkan diri di tengah kehidupan bermasyarakat dalam konteks
masing-masing. Karena itu, ASG tidak dapat dipahami melulu sebagai kumpulan
dokumen sosial yang diterbitkan oleh Magisterium. Sementara dokumen atau
ensiklik sosial berisikan ajaran sosial yang kurang lebih baku, ASG ditafsirkan
dan dijabarkan dalam pergulatan umat kristiani di tengah-tengah kehidupan
sosial, politik, budaya dan ekonomi (bdk. Kieser, 2). Kehidupan bermasyarakat
dan konteks hidup sehari-harinya menjadi lapangan konkret bagi pengembangan
ajaran sosial Gereja. Dengan kata lain, ASG telah ada sejak umat kristiani
menjalani hidup di tengah masyarakat dan dunia.
Keberadaan ASG
dalam Gereja tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Gereja diutus oleh
Tuhan ke dalam dunia (bdk. Yoh 17:18). Tuhan bahkan tidak berpikir untuk
mengambil Gereja dari dunia (bdk. Yoh 17:15). Tuhan mengutus Gereja ke dunia
untuk menjadi sakramen kehadirannya dan menandai hadirnya tanda dan sarana
keselamatan Tuhan di dunia. Karena itu, tugas Gereja adalah hadir di
dunia, bukan lari dari dunia. Misinya adalah mewartakan dan
mengomunikasikan keselamatan Kristus, yang disebutNya “Kerajaan Allah”, yakni
persatuan dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Dengan hadir di
dunia, Gereja menjadi benih dan awal dari Kerajaan Allah (bdk. Compendium art.
49).
Warta keselamatan Kristus melalui
kehadiran Gereja menuntut terjadinya perubahan nyata tatanan dunia sesuai
dengan yang dikehendaki Kristus. Cinta kasih Kristus, yang menjadi perintah
utama dan syarat utama sebagai murid Tuhan (Yoh 13:35), harus diterapkan kepada
sesama dalam relasi sehari-hari. Perwujudan cinta kasih itu bukan sekedar
menyapa orang lain, memberi senyum, dan membantu dengan mengulurkan tangan.
Perintah kasih diwujudkan dalam konteks membuat dunia ini menjadi tempat yang
sesuai dengan kehendak Allah dan membangun KerajaanNya. Maka, membangun
keadilan sosial, menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang
paling membutuhkan, mempromosikan hormat terhadap martabat manusia merupakan
bentuk nyata dari aplikasi perintah kasih. Ajaran Sosial Gereja berkaitan
langsung dengan bagaimana hukum cinta kasih Kristus dilaksanakan oleh Gereja
dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat dan dunia.
Ajaran Sosial Gereja bersifat lunak bila
dibandingkan dengan dengan ajaran Gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan
kata lain, ASG merupkan bentuk keprihatinan Gereja terhadap dunia dan umat
manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan. Karena masalah-masalah
yang dihadapi oleh manusia beragama bervariasi, dan ini dipengaruhi oleh semangat
dan kebutuhan zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi sesuai dengan isu
sosial yang muncul.
Ajaran Sosial Gereja juga dapat dikatakan sebagai
ajaran Gereja yang mengatur hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam
hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun
internasional.
Jadi, dalam konteks ini ASG merupakan teologi,
refleksi iman orang beriman atas situasi zamannya. Sebuah permenungan yang
mendasari perspektif, pemikiran dan sikap yang dilakukan dalam terang iman
Kristiani. Sebagai teologi, ASG merupakan teologi praktis, dan langsung
menanggapi persoalan-persoalan real-situasional yang ada dan berkembangan dalam
masyarakat. Sehingga ia menjadi pedoman atau “Frame” orang beriman dalam
keterlibatan atau peran serta aktif di dunia atau bidang ekonomi, politik,
social, ekologi dan kebudayaan.
SUMBER
AJARAN SOSIAL GEREJA (ASG)
Ajaran
sosial Gereja sebenarnya adalah ajaran Gereja yang diperuntukkan bagi kebaikan
bersama (common good) dalam masyarakat, untuk mengarahkan masyarakat
kepada kebahagiaan. Banyak orang menghubungkan surat ensiklik Bapa Paus Leo
XIII, Rerum Novarum, tahun 1891, sebagai tanggapan Gereja Katolik yang
nyata terhadap keadaan krisis sosial dunia. Namun sebenarnya, keberadaan
ajaran sosial Gereja telah ada sejak lama, bahkan sejak zaman Perjanjian Lama.
Maka
sumber ajaran sosial Gereja Katolik adalah: (disarikan dari buku karangan
Arthur Hippler, Citizens of the Heavenly City, A Catechism of Catholic
Social Teaching, (Rockford Illinois: Borromeo Books, 2003) p. 1-11:
1.
Kitab Suci, terutama ke-sepuluh perintah Allah yang
menjadi dasar pengajaran moral dalam Gereja Katolik (lih. KGK 264-2068).
Melalui hukum-hukum Musa di Perjanjian Lama, sesungguhnya kita dapat mengetahui
bahwa Allah memberikan hukum tidak hanya untuk mengatur penyembahan kepada
Allah, tapi juga untuk mengatur kehidupan yang benar antara sesama keluarga dan
masyarakat. Hukum ini yang kemudian disarikan menjadi “Kasihilah Tuhanmu dengan
segenap hatimu dan kekuatanmu… dan kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu
sendiri” (lih. Mat 22:37-39).
2.
Pengajaran para
Bapa Gereja dan para Pujangga Gereja (Doctors of the Church), terutama St.
Agustinus (354-430) melalui bukunya The City of God, yang mengatur
pengajaran tentang manusia dan masyarakat; dan St. Thomas Aquinas (1225-1274),
dengan bukunya, Summa Theologiae, di mana bagian yang terbesar dari Summa
adalah Teologi moral/ Moral Theology.
3.
Pengajaran dari Bapa Paus, yaitu dari surat-surat
ensiklik dan pengajaran lisan/ dalam homili/ sermon/ pidato. Pengajaran dari
Bapa Paus ini merangkum Kitab Suci dan pengajaran dari para Bapa Gereja dan
Pujangga Gereja. Bapa Paus yang mengajarkannya ajaran sosial ini kepada dunia
adalah merupakan tanda bahwa Kristus tak meninggalkan umat manusia bagai yatim
piatu, namun terus menyertainya dengan ajaran-Nya yang ditujukan bagi semua
orang, demi kebaikan bersama.
Memang
banyak orang sukar melihat bahwa ajaran dari Bapa Paus merupakan ajaran bagi
semua orang, sebab mereka berpikir bahwa Paus hanya mengajar umat Katolik.
Namun sebagai the Vicar of Christ, wakil Kristus di dunia, sebenarnya,
Paus mempunyai tugas untuk mengajar semua orang. Otoritas Paus dalam
mengajarkan doktrin sosial Gereja sifatnya tetap, tidak terpengaruh ‘masa
jabatan’. Maka artinya:
1.
Paus yang sekarang ini mengajarkan sesuatu yang telah
menjadi pengajaran Gereja sepanjang sejarah, dan tidak mengajarkan hal yang
baru/ ‘inovasi’ yang dibuatnya sendiri.
2.
Demikian pula, ajaran para Paus di masa lampau tetap
berlaku. Contohnya, surat ensiklikal Centesimus Annus dari Paus Yohanes Paulus
II ditulis berdasarkan Rerum Novarum dari Paus Leo XIII dan Quadragesimo
anno dari Paus Pius XII. Dan yang baru-baru ini surat ensiklik Caritatis
in Veritate dari Paus Benediktus XVI merupakan pengembangan/ kelanjutan dari
surat-surat ensiklik dari para Paus pendahulunya tersebut. Dalam surat
ensikliknya, khususnya Rerum Novarum dan Centesimus Annus,
Paus mendorong dibentuknya kegiatan dan lembaga sosial dalam masyarakat yang
sifatnya untuk mendukung masyarakat itu sendiri, namun harus dilihat dasarnya,
bahwa semua itu adalah untuk menerapkan hukum kasih dalam masyarakat.
Memang
dalam hal ini Gereja tidak mengajarkan penemuan suatu sistem bisnis/ pengaturan
masyarakat, namun Gereja mengajarkan prinsip-prinsip dasarnya demi mengarahkan
umat manusia kepada kekudusan, sehingga manusia dapat mencapai tujuan akhirnya,
yaitu surga. Semua perkembangan di dunia tidak boleh menghalangi manusia untuk
mencapai tujuan akhir ini. Maka dengan demikian, ajaran sosial Gereja tidak
terbatas pada mendirikan rumah sakit atau keterlibatan politik, atau “teologi
sosial politik” seperti yang pernah anda dengar.
ASG ditentukan oleh
factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dunia dari masa ke masa.
Dibandingkan dengan disiplin teologi lainnya, ASG
mengalami perkembangan terus menerus seiring perkembangan waktu yang ditentukan
oleh sumber isinya, baik factor- faktor “ideal”
(yaitu gagasan filosofis-teologisnya), perkembangan factor-faktor “real-situasional” (yaitu perkembangan
dunia dan zaman dengan segala permasalahannya, maupun perkembangan dalam
argumentasinya.
Contoh perkembangan tersebut:
Pada
zaman Paus leo XIII sampai Pius XI, hal-hal yang disoroti dan mempengaruhi ASG
adalah masalah-masalah liberalism, kapitalisme, yang menimbulkan masalah
perburuhan, perubahan struktur social, system upah dan ketenagakerjaan yang
tidak adil, dan sebagainya (RN 1891, QA 1931.
Pada
zaman Pius XII sampai Yohanes XXIII, menyoroti masalah-masalah perang dan perdamaian,
hubungan antar bangsa (blok barat dan blok timur) dan masa perang dunia dan perang
dingin (amanat-amanat 1939-1958, PT 1963)
Pada
zaman Paulus VI dan sekitar Konsili Vatikan II, menyoroti paham hubungan antara
Gereja-dunia serta segala impliasinya (GS 1965), masalah dunia ke-3 dan
perkembangan bangsa-bangsa (PP 1967), masalah masyarakat industry modern (QA
1971), keadilan di dunia (Sinode 1971) dan evangelisasi serta pembebasan (EN
1975)
Pada
zaman Yhanes Paulus II dan Benediktus XVI, menyoroti masalah keluarga (FC
1981), makna kerja (LE 1981), Teologi pembebasan (LN 1984, LC 1986), wanita (MD
1989), dosa sosial, dunia yang terkotak-kotak, perkembangan sejati, ekologi (
SRS 1987), konstelasi dunia pasca perang dingin dan ambruknya komunisme (CA 1991),
serta pelayanan kasih (DCE 2005).
Perkembangan
argumentasi :
Pada
zaman Paus Leo XIII sampai Paulus VI, argumentasi lebih berdasarkan “hukum
kodrat”, sejak Konsili Vatikan II dan Yohanes Paulus II, argumentasi lebih pada
argumentasi antropologis (kesatuan tata penciptaan dan tata penebusan).
Hubungan yang lama dengan yang baru
Dalam
perkembangan tersebut, meskipun terjadi perubahan-perubahan, terutama dalam
tema dan argumentasi, antara satu ASG dengan ASG yang terbit berikutnya tidak
terpisahkan. Mereka masih memiliki hubungan dan kesatuan tersebut adalah:
·
Membangun yang sudah ada
·
menjernihkan kesan kurang tepat atau
salah paham atas yang sebelumnya.
·
Mengembangkan dan memperdalam lebih
lanjut tema-tema atau argumentasi sebelumnya
·
Menanggapi masalah-masalah baru dengan
menggunakan prinsip dan nilai yang sudah ada sebelumnya, dan dengan demikian
memperluas cakupan ASG tersebut.
·
menyesuaikan dengan keadaan
(real-situasional)
ASG dalam konteks perkembangan kesadaran sosial Gereja.
Dalam
ASG tercermin kesadaran Gereja bahwa masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi
dan berkembang tidak berada diluar tanggung jawab Gereja. Kesadaran akan
perkembangan struktur-struktur sosial tersebut berkembang dalam tiga tahap:
1. Tahap Karitatif,
pendekatan ini didorong oleh Caritas Allah sendiri yang hidup dalam Roh Kudus
untuk secara langsung memberi perhatian kepada sesama yang lapar, haus
telanjang, dipenjara, lemah miskin. Pendekatan ini adalah secara langsung
mencoba memberi apa yang secara fisik-material diperlukan.
2. Tahap Ajaran Sosial,
pendekatan ini berbeda dengan pendekatan karitatif. Tahap ini lebih
menitikberatkan pada akar masalah sosialnya, yaitu pada struktur sosialnya.
Untuk membantu orang lapar, haus, telanjang, dipenjara, dan lemah-miskin, harus
diubah struktur sosial yang menyebabkan keadaan itu terjadi. Erbuatan karitatif
sosial tidak akan mengubah keadaan.
3. Tahap Himbauan profetis dan
solidaritas praktis, mulai zaman Yohanes XXIII (SRS) muncul
sebuah dimensi baru dalam pendekatan ASG. Gereja menyadari bahwa menyelesaikan
masalah sosial tidak cukup hanya dengan memberikan ajaran saja. Ketidakadilan
bercokol pada struktur-struktur kekuasaan ekonomis, politis, sosial dan budaya
yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan masif kelas sosial dan individual
yang berkuasa. Hal ini hanya bisa diatasi dengan tindakan nyata, tindakan dalam
dimensi politik, yaitu maklumat profetis dan solidaritas praktis umat beriman
awam. Maklumat profetis berada dalam memaklumkan nilai dan sikap Injili secara
terbuka dan konkrit dalam situasi, masalah dan tantangan hidup sehari-hari.
Sedangkan solidaritas praktis berarti berada di sisi mereka yang diperlakukan tidak
adil, perlu dukungan dan pembebasan, dan ikut melakukan secarapraktis apa yang
dikehendaki Allah dalam cahaya Injil.
PRINSIP-PRINSIP POKOK AJARAN SOSIAL
GEREJA
1.
Kesejahteraan
Umum
Kesejahteraan
umum termasuk jantung ASG. Pemikir Perancis, Jacques Maritain (1882-1973),
salah seorang tokoh penting dalam kebangkitan kembali ajaran Thomas Aquinas,
berpandangan bahwa kesejahteraan umum harus mencangkup pelayanan umat manusia
yang dikarunia hak kodrati. Menurutnya, kesejahteraan umum tidak hanya
mencangkup pemenuhan hal-hal duniawi, tetapi juga melibatkan nilai rohani umat
manusia, seperti hak-hak manusia, kebebasan, kemakmuran jasmani dan rohani.
Berdasarkan
ulasan-ulasan Mater et Magistra, David Hollenbach melukiskan kesejahteraan umum
sebagai kenyataan sosial yang didalamnya semua orang saling berbagi dan
menolong. Kesejahteraan umum dilukiskan sebagai “seperangkat keadaan sosial
yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kesempurnaan dalam hidupnya secara
utuh.
Sifat
kesejahteraan umum seperti terlukis dalam Gaudium et Spes tidak bisa dimengerti
hanya sebagai pemenuhan tuntutan kondisi sosial sekelompok orang. Kesejahteraan
itu mencangkup jaminan akan hak-hak manusia, yang universal dan tak
tergeserkan, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, penghargaan, dan atas
perbuatan sesuai dengan hati nurani.
Kesejahteraan umum adalah tujuan, maksud dan sasaran sebuah
masyarakat. oleh karena itu masyarakat dan Negara wajib membela kesejahteraan
umum sebagai bagian dari hak-hak dasar manusia. Masyarakat dan Negara harus
mengembangkan semua cabang hidup yang mendukung kesejahteraan umum, seperti
mengadakan pelayanan sosial, perawatan kesehatan, kegiatan-kegiatan budaya, dan
lain-lain.
2.
Solidaritas
Sebuah
analisis yang menyeluruh telah menghasilkan pengertian bulat tentang penggunaan
istilah “solidaritas” (kesetiakawanan) dalam ASG, yaitu:
Pertama,
sebelum Konsili Vatikan II kotbah dan ensiklik kepausan terutama oleh Paus Pius
XII selalu memegang gagasan tentang solidaritas dalam ASG sebagai buah
pemersatu umat manusia. Semua manusia berasal dari dan memiliki kemanusiaan
yang sama. Dasar pemersatu umat manusia terletak pada asal-muasal yang sama,
yaitu Tuhan Pencipta langit dan bumi. Hanya ada satu Allah yang menjadi Bapa
semua orang. Kesatuan umat manusia berakar dalam kesamaan kodrat, misi di dunia
dan tujuan adikodrati mereka. Jadi solidaritas disini mengacu pada situasi
dimana semua manusia terikat satu dengan yang lain. Mereka saling melengkapi
dengan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada sehingga mereka sanggup
membangun kesatuan yang kuat.
Kedua,
Konsili Vatikan II mengembangkan makna istilah solidaritas. Gagasan utama
mengenai solidaritas ditemukan dalam persamaan kedudukan manusia sebagai
putera-puteri Allah. Gagasan dasar mengenai solidaritas terletak dalam kodrat
manusia dan bersatunya kedudukan di antara semua manusia dalam sebuah keluarga.
Semua manusia diciptakan oleh Allah yang satu dan sama, Bapa kita. Dasar
pemikiran ini dibaharui oleh penjelmaan Yesus sebagai manusia.
Ketiga,
dalam Populorum Progessio, Paus Paulus menekankan dimensi universal dalam
istilah “solidaritas”. Seraya memberikan tekanan pada kewajiban setiap bangsa
yang maju untuk membantu mengembangkan diri bangsa-bangsa lain. Dia
menggarisbawahi bahwa setiap bangsa wajib menghasilkan sesuatu yang lebih baik
atau menyumbangkan kemajuan bagi seluruh umat manusia.
Jadi,
prioritas yang harus diberikan untuk mewujudkn solidaritas sosial jika setiap
warga masyarakat itu pertama-tama dilihat sebagai manusia. Rasa setia kawan
memampukan seeorang melihat orang lain bukan sebagai “alat” yang dimanfaatkan,
melainkan sebagai “tetangga” dan “penolong”
(Kej. 2:18-20) yang diajak serta dalam perjamuan hidup.
3.
Subsidiaritas
Pengertian
dasar tentang subsidiaritas dalam ASG berpijak pada pandangan Paus Pius XI
dalam QA bahwa merupakan prinsip dasar falsafah sosial, yang tak tergoyahkan
dan tak tergantikan. Dari kodratnya, tujuan sejati dari semua kegiatan sosial
hendaknya membantu para anggota badan sosial dan bukan sekali-kali membinasakan
dan menghisap mereka.
Dalam
menafsirkan prinsip subsidiaritas ini, salah seorang arsitek ensiklik, O. von
Nell Breuning, mengatakan bahwa prinsip ini menyinggung bantuan yang diberikan
sebuah masyarakat kepada warganya. Bantuan terbaik ialah bantuan yang menolong
“membantu diri sendiri”. Semua bantuan, termasuk bantuan dari orang tua kepada
anak-anaknya, harus menciptakan dan memajukan kemampuan menentukan nasib diri
sendiri para ahli warisnya. Kedua aspek pokok ini ialah “membantu diri sendiri”
dan “berkembang dengan kemampuan diri sendiri”. Jika seseorang memaksakan
pertolongannya pada orang yang miskin, dia bukan membantu si miskin, justru
akan melanggar pegangan hidup “berdikari”
Paus
Yohanes XXIII membangun subsidiaritas diatas prinsip Paus Pius XI dengan
menggarisbawahi perlunya menjamin kemandirian dan kebebasan setiap manusia,
keluarga dan masyarakat. Prinsip ini mencoba membantu manusia mengungkapkan
pendapatnya secara spontan dan aktif. Jiwa kemandirian sangat diperlukan dalam
mewujudkan sebuah masyarakat yang kuat dan bermasa depan.
4.
Partisipasi
Istilah
“berpartisipasi” mengandung pengertian pasif sekaligus aktif. Dalam pengertian pertama,
artinya: turut ambil bagian dalam sesuatu atau berhak atas bagian tertentu.
Dalam pengertian yang kedua, berarti: bekerjasama melalui tindakan sendiri yang
bebas dengan orang bebas-bebas lainnya untuk suatu usaha patungan. Pengertian
aktif ditandai dengan kerja sama dengan orang lain, yang tidak begitu jelas
diperlihatkan seperti dalam pengertian pasif. Istilah partisipasi mengandaikan
kebebasan. Partisipasi tidak dapat dimengerti tanpa kebebasan manusia dalam
suatu usaha. Partisipasi dapat hadir hanya dalam dunia manusia dan bergantung
pada kebebasan, dan kebebasan diwujudkan dalam berpartisipasi.
Masyarakat yang
menghormati partisipasi aktif warganya ditandai oleh penghargaan atas
kemandirian manusia dan atas hak-hak manusia berkenaan dengan kekuasaan rakyat.
Partisipasi dalam hidup bermasyarakat menjadi syarat yang tak terelakkan bagi
kemajuan manusia dan masyarakat. latar belakang ialah bahwa semua manusia
mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk ikut serta dalam semua kegiatan
sosial. Hal ini melalui prinsip-prinsip seperti kesejahteraan bersama, keadilan
sosial, dan pengembangan manusia. Hak berpartisipasi disini mencakup kewajiban
manusia dalam meningkatkan kemajuan sosial.
NILAI-NILAI
MORAL DASAR DALAM ASG
1. Cinta
kasih
Cinta kasih tampak dalam Rerum Novarumsebagai dasar
dan mesin utama pendorong kepedulian Gereja bagi hidup bermasyarakat. Gejala
ini mencerminkan kesetiaan Gereja dalam tugas panggilannya yang harus menolong
kaum tak berdaya, kecil dan tertindas untuk meraih kesejahteraan mereka.
Kehidupan murid-murid pertama pada zaman Gereja Purba, memberikan contoh bagi
hidup persaudaraan sejati atas dasar saling bantu dan mereka hidup saling
serasi diantara sesame Kristiani. “Tidak ada seorangpun yang kekurangan
diantara mereka” (Kis. 4:34).
Seraya menjabarkan kasih ini kedalam kehidupan
nyata, Gereja menjadi ibu bagi semua orang miskin dan kayya. Sebagai ibu,
Gereja memperhatikan semua orang, semua golongan dan semua pihak dalam hidup
sosial. Gereja diilhami dan disemangati oleh kepahlawanan kasih yang tidak
menyingkirkan korban kekerasan dan ketidakadilan tanpa memberikan pertolongan.
Dalam Rerum Novarum, Paus Leo XIII mengatakan bahwa
cinta kasih pertama-tama ditandai oleh kemurahan hati seseorang dan
kesediaannya berkorban bagi orang-orang lain. Kasih tetap tegar melawan semua
bentu kebanggaan dan egoism di dunia. Cinta kasih tidak mementingkan diri
sendiri dan tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain. Dalam dirinya cinta
kasih merupakan intisari Kabar Baik. Cinta kasih mendatangkan keselamatan yang
merangkul seluruh dunia dan segenap kandungan didalamnya.
Paus Yohanes XXIII dalam Mater et magistra
menyatakan bahwa kasih akan Allah menjadi sumber cinta kasih Kristiani.
Pentingnya makna cinta kasih ini dapat dinilai dari sikap seseorang terhadap Allah,
sebab cinta kasih berasal dari Dia. Yang sungguh-sungguh mencintai Allah dengan
sendirinya, akan mencintai sesame manusia sebagai amkhluk ciptaan-Nya.
Mencintai ciptaan-Nya berarti mencintai Sang Pencipta.
2. Keadilan
Sosial
Gagasan tentang keadilan dalam hubungan sosial
dengan kepentingan-kepentingan manusia yang pada hakikatnya saling terkait dan
berdasarkan martabat manusia. Nilai moral menuntun manusia untuk saling
menghormati martabat dan hak-hak manusia dalam setiap bidang hidup. Seorang
manusia selalu butuh dipandang sebagai manusia. Keadilan sejati menuntut agar
setiap orang dilihat dan dihargai sebagai makhluk Allah. Semua manusia termasuk
hamba dan pekerja, dalam keadaan apapun hendaknya tidak diperbudak. Mereka
adalah manusia dan makhluk ciptaan Allah yang memiliki kekudusan dalam dirinya.
Keadilan merupakan kaidah dasar hubungan sosial
dalammenghapus dan mencegah aneka bentuk kerenggangan sosial. Keadilan yang
sama juga ditekankan pada semua tingkat hubungan sosial antar umat manusia.
Bila azas keadilan diterapkan pada situasi sosial konkrit, semua kegiatan usaha
dalam kelompok sosial meningkat baik. Dewasa ini keadilan lebih dituntut dalam
sector-sektor konflik kepentingan daripada disektor-sektor lain.
Keadilan dalam ASG adalah suatu kebajikan yang
melampaui kebajikan perorangan. Menurut Paus Paulus VI, keadilan merupakan
nilai moral yang membangun semua hubungan hidup bersama dalam setiap bidang
kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama. Nilai ini secara halus
mengharuskan semua orang, keluarga, dan kelompok sosial dalam proses mencapai
kesejahteraan bersama, yang berbeda dengan kesejahteraan perorangan. Dimensi
sosial mendapat penekanan dalam keadilan dan itu berasal dari gagasan akan
perdamaian.
Dalam pengantar Rerum Novarum, Paus Leo XIII
mengemukakan gagasan tentang keadilan dan kesetaraan sebagai prinsip-prinsip
dasar dalam memecahkan dan megatasi masalah-masalah sosial pada akhir abad ke
XIX. Keadilan harus terdapat diantara kaum kaya dan kaum miskin. Sesuai etika,
hendaknya keadilan diterapkan dalam sector distribusi dan menjadi sarana
pembela martabat manusia.
Sebagai pengganti Paus Leo XIII, Paus Pius XI
mengikuti alur pikir yang sama seperti pendahulunya. Hubungan antara pemimpin
dan karyawan harus berdasarkan keadilan. Hubungan inilah ynag menentukan upah
bagi para karyawan. Menentukan besarnya upah harus berdasarkan kepatutan tiga
unsur berikut ini: (1) Kebutuhan karyawan dan keluarga; (2) kondisi
pabrik/tempat kerja; (3) tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum. Paus Pius XI
mengatakan bahwa hubungan pribadi antara majikan dan karyawan tak tergantikan
oleh ketentuan resmi apapun. Hubungan manusiawi tinggal tetap tak berubah untuk
selamanya sebgai dasar keadilan.
3. Bebas
Merdeka
Lahirnya gagasan ini sangat terkait dengan dimensi
hakiki perutusan Gereja, yaitu mengembangkan martabat dan kemerdekaan manusia
sebagai bagian nilai-nilai Injili. Oleh karena itu untuk mendapatkan pengertian
yang cukup mengenai gagasan kebebasan dalam ASG, perlu dipelajari dua dari
ensiklik oleh Paus Leo XIII, yang diterbitkan sebelum Rerum Novarum, yaitu:
Immortale Dei (Negara menurut Konstitusi Kristiani, 1 November 1885) dan
Libertas (Kodrat kebebasan manusia, 20 Juni 1888). Kedua ensiklik ini secara
khusus dipilih karena dengan jelas dan tegas Paus Leo XIII menyebut kebebasan
dengan merujuk pada Rerum Novarum dank arena ensiklik-ensiklik itu diterbitkan
demi kebaikan Gereja dan untuk keselamatn bersama umat manusia.
Merujuk ajaran kebebasan Paus Leo XIII
sekurang-kurangya terdapat tiga tafsiran utama:
Pertam a,
Andrea Oddone, penulis “Budaya Katolik”, melukiskan Gereja Katolik sebagai
“penjaga” kebebasan sejati para warganya ketika gereja berjuang menentang
tindakan sewenang-wenang Negara.
Dia
menulis,Paus Leo XIIIdalam Ensikliknya “Libertas” menegaskan bahwa kelihatan
semakin besar pengaruh Gereja dalam memelihara dan melindungi kebebasan sipil
dan politik bangsa-bangsa, baik dengan menghapus perbudakan, baik dengan
memulihkan keluarga, baik dengan menentag kesewang-wenangan pemerintah dan
melindngi orang tak bersalah dan orang lemah terhadap tindakan kekerasan oleh
orang kuat, maupun dengan mengalahkan sedemikian banyak peraturan politik yang
menggangu dinegara-negara dengan persamaan derajat yang disukai oleh warga dan
disegani oleh kekuatan asing.
Kedua, dalam analisis ajaran Paus Leo XIII mengenai
kebebasan, Vicenzo mangano menulis bahwa ditemukan adanya perbedaan ynag jelas
antara kebebasan yang dikehendaki Tuhan dan kebebasan ynag disalah-gunakan
manusia yang mendatangkan sebegitu banyak masalah dan kesalahan.
Ketiga, para penulis dewasa ini memiliki pandangan
berbeda atas ajaran Paus Leo XIII mengenai kebebasan. Menurut Charles E.
Curran, Paus Leo XIII mencela kebebasan modern. Paus ini tidak termasuk pembela
kebebasan sipil dan kebebasan modern. Segaris dengan Curran, Paul Sigmun
mencatat, Paus Leo XIII menegaskan kembali kecaman-kecaman para pendahulunya
terhadap tidak adanya kebebasan beribadah, menyatakan diri, dan mengajar,
dengan menuduh kaum liberal menjadikan “Negara berkuasa mutlak dan mahakuasa”
dan menyatakan hendaknya orang hidup
sama sekali tidak tergantung kepada Allah.
DOKUMEN-DOKUMEN
ASG
Dari Rerum Novarum hingga zaman kita sekarang ini
Sebagai tanggapan terhadap
masalah sosial besar yang pertama, Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial
yang pertama, Rerum Novarum. Ensiklik ini membedah kondisi para
pekerja upahan, yang secara khusus menyusahkan
para pekerja industri yang merana dalam kesengsaraan yang tidak manusiawi. Masalah kerja dikaji seturut berbagai matranya
yang sebenarnya. Masalah itu diselidiki
dalam semua bentuk ungkapannya di
bidang sosial dan politik sehingga sebuah penilaian yang tepat bisa dibuat dalam terang
prinsip-prinsip doktriner yang dilandaskan pada pewahyuan dan pada hukum kodrati
serta moralitas.
Rerum Novarum mendaftarkan
sejumlah kesalahan yang menimbulkan berbagai
penyakit sosial, menafikan sosialisme sebagai obat penyembuh serta menguraikan secara persisi
dan dalam bingkai
kontemporer “ajaran Katolik
menyangkut kerja, hak kepemilikan,
prinsip kerja sama alih-alih
perjuangan kelas sebagai sarana hakiki bagi perubahan sosial, hak-hak kaum
lemah, martabat kaum miskin.
kewajiban-kewajiban
kaum kaya, penyempurnaan keadilan melalui cinta kasih, serta hak untuk membentuk
serikat-serikat profesi.” Rerum
Novarum menjadi dokumen yang mengilhami karya Kristen di bidang sosial dan titik acuan
untuk karya ini.
Tema utama ensiklik ini adalah penataan masyarakat secara adil, seraya
mengingatkan adanya kewajiban untuk mematok kriteria penilaian yang akan
membantu menakar sistem-sistem sosio-politik yang ada dan menganjurkan
haluanhaluan tindakan bagi pembaruan sistem-sistem tersebut secara tepat.
Rerum
Novarum menelisik
masalah-masalah kerja dengan menggunakan sebuah
metodologi yang kemudian menjadi “suatu paradigma yang berkanjang” bagi perkembangan-perkembangan
selanjutnya dalam ajaran sosial Gereja. Prinsip-prinsip yang ditegaskan Paus
Leo XIII kelak diangkat kembali dan dipelajari secara lebih mendalam dalam
ensiklik-ensiklik sosial selanjutnya. Keseluruhan ajaran sosial Gereja dapat
dilihat sebagai sebuah pemutakhiran, sebuah analisis yang lebih mendalam serta
sebuah perluasan terhadap intipati asali dari prinsip-prinsip yang disajikan
dalam Rerum
Novarum.
Bersama teks yang berani lagi berwawasan jauh ke depan ini, Paus Leo XIII
“memberi Gereja semacam ‘status kewarganegaraan’ di tengah realitas-realitas
kehidupan publik yang sedang berubah” dan membuat sebuah “pernyataan yang
sangat tegas” yang kemudian menjadi “unsur permanen ajaran sosial Gereja”.
Beliau mengakui bahwa masalah-masalah sosial yang berat “hanya akan dapat
dipecahkan bila semua tenaga dan sumber daya dikerahkan secara terpadu” dan
menambahkan bahwa “menyangkut Gereja, kerja sama dari pihaknya tidak akan pernah
pudar”.
Pada
permulaan tahun 1930-an, menyusul krisis ekonomi dahsyat tahun 1929, Paus Pius
XI menerbitkan Ensiklik Quadragesimo Anno, yang memperingati ulang tahun ke-40 Rerum Novarum. Sri paus membaca ulang masa lampau dalam terang situasi ekonomi dan sosial di
mana ekspansi pengaruh kelompok-kelompok
keuangan, baik secara nasional maupun internasional, ditambahkan pada
dampak-dampak industrialisasi. Itu adalah
kurun waktu pasca perang di mana rezim-rezim totaliter tengah
merangsek di Eropa malah ketika
perjuangan kelas kian menjadi sengit. Ensiklik ini memperingatkan tentang
kegagalan untuk menghormati kemerdekaan membentuk perserikatan dan menekankan
prinsip-prinsip solidaritas dan kerja sama dalam rangka mengatasi berbagai
kontradiksi sosial. Relasi antara modal dan kerja harus diwarnai oleh semangat
kerja sama. Quadragesimo
Anno menegaskan
prinsip bahwa upah harus seimbang tidak saja dengan kebutuhan-kebutuhan pekerja
tetapi juga dengan kebutuhan keluarganya. Negara, dalam relasinya dengan sector
swasta, hendaknya menerapkan prinsip subsidiaritas, sebuah prinsip yang akan menjadi
sebuah unsur tetap dari ajaran sosial Gereja. Ensiklik ini
menolak liberalisme, yang dipahami
sebagai persaingan yang tidak terbatas antara kekuatan-kekuatan ekonomi, serta
menegaskan kembali nilai harta milik pribadi, seraya mengingatkan fungsi
sosialnya. Dalamsebuah masyarakat yang mesti dibangun kembali dari
pijakan-pijakan ekonominya, sebuah masyarakat di mana ia sendiri seluruhnya
menjadi“permasalahan” yang mestiditangani, “Pius XI merasakan tugas dan anggung jawab untuk menggalakkan suatu
kesadaran yang lebih besar, sebuah penafsiran yang lebih persisi serta sebuah
penerapan yang mendesak atas hukum moral yang mengatur relasi-relasi insani ...
dengan sasaran mengatasi pertikaian di antara kelas-kelas dan sampai pada
sebuah tatanan sosial baru yang dilandaskan pada keadilan dan cinta kasih.” Paus Pius XI tidak lalai
mengangkat suaranya melawan rezim-rezim totaliter yang tengah merangsek di Eropa
pada masa kepausannya.
Sudah pada tanggal 29 Juni 1931 beliau melancarkan protes menentang
penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim fasis totaliter di Italia dengan Ensiklik Non Abbiamo Bisogno. Beliau menerbitkan Ensiklik Mit brennender Sorge, tentang situasi Gereja Katolik
di bawah Reich
Jerman pada tanggal 14 Maret 1937.
Teks Mit brennender Sorge dibacakan dari atas mimbar di
setiap Gereja Katolik di Jerman, setelah disebarkan dengan sangat rahasia.
Ensiklik tersebut keluar setelah tahun-tahun kesewenang-wenangan dan tindak
kekerasan, dan ensiklik itu secara tegas diminta dari Paus Pius XI oleh para
Uskup Jerman setelah Reich
menerapkan langkah-langkah yang
kian keras dan represif pada tahun 1936, khususnya yang berkenaan dengan kaum
muda yang diwajibkan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Gerakan Kaum Muda
Hitler. Sri paus berbicara secara langsung kepada para imam, biarawan dan kaum
awam beriman, seraya memberi mereka dorongan serta meminta mereka berkanjang
sampai suatu masa ketika perdamaian yang sejati antara Gereja dan negara akan
dipulihkan kembali. Pada tahun 1938, berkenaan dengan penyebaran gerakan
anti-Semitisme, Paus Pius XI menandaskan: “Secara rohaniah kita semua adalah
orang-orang Semit.” Bersama dengan Surat Ensiklik Divini Redemptoris,158 tentang komunisme ateistik dan
ajaran sosial Kristen, Paus Pius XI menyajikan sebuah kritik yang sistematis
terhadap komunisme, dengan menyebutnya sebagai “yang secara intrinsik merupakan
kejahatan”,
dan menyiratkan bahwa sarana-sarana utama untuk membenahi kejahatan yang
dilakukan olehnya dapat ditemukan dalam pembaruan kehidupan Kristen, praktik cinta
kasih injili, pemenuhan tugas-tugas keadilan baik pada tingkat antarpribadi
maupun sosial dalam kaitan dengan kesejahteraan umum, serta pelembagaan
kelompok-kelompok profesi dan lintas-profesi.
Dalam
Amanat Radio Natal Paus Pius XII, bersama dengan intervensi-intervensi
penting lainnya menyangkut masalah-masalah sosial, refleksi Magisterium atas tatanan sosial baru yang
dipandu oleh moralitas dan hukum, dan terpusat pada keadilan dan perdamaian, menjadi
kian mendalam. Masa kepausan beliau mencakup tahun-tahun mengerikan Perang
Dunia II serta tahun-tahun sulit pembangunan kembali. Beliau tidak menerbitkan
ensiklik sosial namun dalam banyak konteks berbeda beliau secara berkanjang
menunjukkan keprihatinannya bagi tatanan internasional, yang telah digoncangkan
secara buruk. “Selama kurun waktu perang dan pasca perang, bagi banyak orang di
semua benua dan bagi jutaan kaum beriman dan tidak beriman, ajaran sosial Paus
Pius XII mewakili hati nurani universal ...
Dengan
otoritas serta prestise moralnya Paus Pius XII membawa terang kebijaksanaan Kristen
kepada tak terhitung banyaknya manusia dari setiap kategori dan tingkat
sosial.” Salah
satu corak khas dari berbagai intervensi Paus Pius XII ialah peran penting yang
beliau berikan pada kaitan antara moralitas dan hukum. Beliau menekankan paham hukum
kodrati sebagai jiwa sistem yang mesti
dimapankan baik pada tingkat nasional maupun internasional. Segi penting lainnya dari ajaran
Paus Pius XII ialah perhatiannya pada kelompok-kelompok
profesi dan bisnis, yang dipanggil untuk bekerja sama secara khusus demi menggapai
kesejahteraan umum. “Berkat
kepekaan serta daya nalarnya dalam
menangkap ‘tanda-tanda zaman’, Paus
Pius XII bisa dipandang sebagai bentara langsung dari Konsili Vatikan II serta ajaran sosial
para paus setelah beliau.”
Tahun
1960-an membawa banyak prospek yang menjanjikan: pemulihan setelah kehancuran
perang, permulaan dekolonisasi, dan tanda lamat-lamat pertama tentang mencairnya hubungan antara blok Amerika dan
blok Soviet. Inilah konteks di mana Beato Paus Yohanes XXIII membaca secara mendalam
“tanda-tanda zaman”. Persoalan sosial kian menjadi universal dan
melibatkan semua negara: bersama
dengan masalah kerja dan Revolusi Industri, tampillah ke permukaan
masalahmasalah
di bidang pertanian, pembangunan,
pertambahan penduduk serta masalah-masalah yang berkenaan dengan kebutuhan akan
kerja sama ekonomi global. Berbagai ketimpangan di masa lampau yang dahulunya
dialami di dalam bangsa-bangsa masing-masing kini menjadi masalah internasional
dan menjadikan situasi dramatis di Dunia Ketiga kian gamblang. Beato Paus
Yohanes XXIII, dalam ensikliknya Mater et Magistra, “bermaksud memutakhirkan
dokumen-dokumen yang sudah diketahui serta mengambil satu langkah maju dalam
proses melibatkan seluruh jemaat Kristen”. Kata-kata kunci dalam ensiklik ini
adalah persekutuan dan sosialisasi: Gereja dipanggil dalam kebenaran,
keadilan dan cinta kasih
untuk bekerja sama dan membangun
bersama semua orang sebuah persekutuan yang
sejati.
Dengan demikian pertumbuhan ekonomi tidak akan dibatasi lagi pada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan manusia, tetapi juga akan memajukan martabat mereka.
Melalui
Ensiklik Pacem
in Terris,
Beato Paus Yohanes XXIII menampilkan ke latar depan masalah perdamaian di dalam
sebuah zaman yang ditandai oleh proliferasi nuklir. Lebih dari itu Pacem in Terris mengandung salah satu dari banyak
refleksi mendalam pertama tentang hak-hak pada pihak Gereja; ini adalah sebuah
ensiklik tentang perdamaian dan martabat manusia. Ensiklik ini melanjutkan dan melengkapi
pembahasan yang sudah dipaparkan dalam Mater et Magistra, dan mengikuti haluan yang sudah
ditunjukkan oleh Paus Leo XIII, ensiklik ini menekankan pentingnya kerja sama
semua orang. Itulah untuk pertama kalinya sebuah dokumen Gereja dialamatkan
pula kepada “semua orang yang berkehendak baik”, yang dipanggil kepada sebuah
tugas raksasa yakni: “memapankan metode-metode relasi baru dalam masyarakat
manusia dengan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan”. Pacem in Terris menguraikan secara panjang-lebar otoritas
publik masyarakat dunia yang dipanggil untuk “menangani dan memecahkan berbagai
masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya yang disingkapkan oleh
kesejahteraan umum segenap bangsa manusia” Pada perayaan ulang tahun ke-10 Pacem in Terris, Kardinal Maurice Roy, Ketua
Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, mengirimkan kepada Paus Paulus VI
sepucuk surat bersama dengan sebuah dokumen yang berisikan serangkaian refleksi
tentang aneka rupa peluang yang disajikan oleh ajaran yang terkandung dalam
ensiklik Paus Yohanes XXIII guna memberi terang pada masalah-masalah baru yang
berkaitan dengan ihwal memajukan perdamaian.
Konstitusi
Pastoral Gaudium
et Spes
dari Konsili Vatikan II merupakan sebuah tanggapan yang sarat makna dari pihak
Gereja terhadap berbagai harapan dan kerinduan dunia dewasa ini. Dalam
konstitusi ini, “selaras dengan pembaruan gerejawi, direfleksikan sebuah
gagasan baru tentang bagaimana menjadi sebuah persekutuan kaum beriman dan umat
Allah. Konstitusi tersebut membangkitkan minat baru berkenaan dengan doktrin
yang termuat dalam dokumen-dokumen terdahulu tentang kesaksian dan kehidupan
orang-orang Kristen sebagai caracara yang sejati menjadikan kehadiran Allah di
dunia ini kasatmata.” Gaudium
et Spes menampilkan
wajah Gereja yang “mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat
manusia serta sejarahnya”, yang menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat
manusia dan
bersama dengan dunia mengalami
nasib keduniaan yang sama, namun pada saat yang sama “hadir ibarat ragi dan
bagaikan penjiwa masyarakat manusia yang harus dibarui dalam Kristus dan diubah
menjadi keluarga Allah”.
Gaudium
et Spes menyajikan
secara sistematis tema-tema tentang kebudayaan, tentang kehidupan ekonomi dan
sosial, tentang perkawinan dan keluarga, tentang masyarakat politik, tentang
perdamaian dan masyarakat bangsa-bangsa dalam terang sebuah wawasan antropologi
Kristen dan dalam terang tugas perutusan Gereja. Segala sesuatunya dikaji dari
titik tolak tentang pribadi dan dengan maksud untuk pribadi,
yakni “satu-satunya makhluk yang
oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri”. Masyarakat, struktur-strukturnya
serta perkembangannya, mesti dikiblatkan kepada “pertumbuhan pribadi manusia”.
Untuk pertama kalinya, Magisterium
Gereja pada tingkatnya yang paling
tinggi, berbicara secara panjang-lebar tentang segi-segi duniawi yang bermacam ragam
dari kehidupan Kristen: “Mesti diakui bahwa perhatian yang
diberikan oleh konstitusi itu
kepada berbagai perubahan sosial, psikologis, politik, ekonomi, moral dan
religius telah kian merangsang keprihatinan pastoral Gereja untuk persoalan
manusia dan dialog dengan dunia.”
Dokumen lain dari Konsili Vatikan II yang sangat
penting dalam kumpulan ajaran sosial Gereja adalah Pernyataan Dignitatis Humanae, di mana hak untuk kebebasan beragama dimaklumkan dengan sangat jelas dan
tegas. Dokumen ini menyajikan tema tersebut dalam dua bab. Yang pertama, yang
bercorak umum, menegaskan bahwa kebebasan beragama dilandaskan pada martabat
pribadi manusia dan bahwa kebebasan itu mesti dikokohkan sebagai sebuah hak
sipil dalam tatanan hokum masyarakat. Bab kedua mengkaji tema tersebut dalam
terang wahyu serta menjelaskan dampak-dampak pastoralnya, sembari menunjukkan bahwa
itu adalah sebuah hak yang tidak hanya bersangkut paut dengan orang sebagai
individu tetapi juga dengan berbagai kelompok orang.
“Perkembangan adalah nama baru untuk perdamaian,”
demikian dimaklumkan secara mulia oleh Paus Paulus VI dalam ensikliknya Populorum Progressio, yang boleh dipandang sebagai
satu pengembangan atas bab tentang ekonomi dan kehidupan sosial dalam Gaudium et Spes, biarpun dokumen itu
memperkenalkan beberapa unsur baru yang penting. Secara khusus, ensiklik
tersebut menyajikan kerangka tentang sebuah perkembangan terpadu manusia dan
sebuah perkembangan dalam solidaritas dengan semua umat manusia: “Kedua topik
ini harus dipandang sebagai poros di sekitarnya ensiklik ini diberi
strukturnya. Dengan keinginan untuk meyakinkan para penerimanya tentang kebutuhan
mendesak bagi tindakan dalam solidaritas, sri paus menampilkan perkembangan
sebagai ‘peralihan dari kondisi yang tak layak manusiawi ke kondisi yang
sungguh manusiawi’ dan menunjukkan cirri khas peralihan itu.” Peralihan dimaksud tidak terbatas
semata-mata pada matra ekonomi atau matra teknologi tetapi mencakup pula hak setiap
pribadi menyangkut kemahiran budaya, penghormatan terhadap martabat orang-orang
lain, pengakuan akan “nilai-nilai yang amat luhur dan Allah sendiri yang menjadi
sumber dan tujuannya”.
Perkembangan
yang menguntungkan setiap orang mesti tanggap terhadap tuntutantuntutan keadilan
pada sebuah skala global yang menjamin perdamaian sedunia serta memungkinkan
tergapainya sebuah “humanisme yang terwujudkan seutuhnya” yang dibimbing oleh
nilai-nilai rohani. Dalam kaitan dengan hal ini, pada tahun 1967 Paus
Paulus VI membentuk Dewan Kepausan “Iustitia et Pax”, dan dengan demikian
memenuhi keinginan para Bapa
Konsili “untuk di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus
terhadap kaum miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga
Gereja universal yang misinya ialah mendorong persekutuan umat Katolik supaya
kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan sosial
internasional ditingkatkan.”
Oleh
prakarsa Paus Paulus VI, bermula dengan tahun 1968 Gereja merayakan hari
pertama dalam tahun sebagai Hari
Perdamaian Sedunia.
Sri paus yang sama memulai tradisi menulis amanat tahunan yang menelisik tema
yang dipilih untuk Hari
Perdamaian Sedunia itu. Amanat-amanat ini memperluas
dan memperkaya kumpulan
ajaran sosial Gereja. Pada
permulaan tahun 1970-an, dalam sebuah suasana pergolakan
dan kontroversi ideologis yang
kuat, Paus Paulus VI berpaling kembali kepada ajaran sosial Paus Leo XIII dan
memutakhirkannya, pada kesempatan ulang tahun ke-80 Rerum Novarum, dengan Surat Apostolik Octogesima Adveniens. Sri paus merefleksikan
masyarakat pasca industri dengan segenap masalahnya yang serba rumit, seraya
mencatatketidakmemadaian berbagai ideologi dalam menanggapi tantangantantangan ini:
urbanisasi, kondisi kaum muda, kondisi kaum perempuan,
pengangguran, diskriminasi,
emigrasi, pertumbuhan penduduk, pengaruh alat-alat komunikasi sosial, masalah
ekologis.
Sembilan
puluh tahun setelah Rerum
Novarum,
Yohanes Paulus II mempersembahkan Ensiklik Laborem Exercens bagi kerja sebagai kebaikan hakiki pribadi
manusia, unsur utama kegiatan ekonomi serta kunci bagi seluruh persoalan
sosial. Laborem
Exercens memaparkan
sebuah spiritualitas serta etika kerja dalam konteks refleksi teologis dan filosofis
yang sangat mendasar. Kerja mesti tidak boleh dipahami hanya dalam arti
objektif dan materiil, tetapi kita mesti mencamkan matra
subjektifnya, sejauh kerja selalu
merupakan bentuk ungkapan pribadi.
Selain
menjadi paradigma yang menentukan bagi kehidupan sosial, kerja memiliki
martabat berupa konteks di mana panggilan kodrati dan adikodrati pribadi mesti
menemukan pemenuhannya.
Melalui Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis,Yohanes Paulus II memperingati ulang
tahun ke-20 Populorum
Progressio dan
sekali lagi menelisik tema perkembangan mengikuti dua garis fundamental: “di
satu pihak, situasi dramatis dunia modern, di bawah aspek gagalnya pembangunan Dunia Ketiga, dan di lain pihak, makna,
syarat dan tuntutan untuk sebuah pembangunan yang layak bagi manusia.” Ensiklik
ini menyajikan berbagai perbedaan antara kemajuan dan pembangunan, dan menandaskan
bahwa “pembangunan yang sejati tidak dapat dibatasi pada penggandaan barang dan
jasa – pada apa yang dimiliki seseorang – tetapi mesti memberi andil bagi
kepenuhan ‘keberadaan’ manusia. Dengan demikian corak moral dari pembangunan
yang nyata ditampakkan secara jelas.” Yohanes Paulus II, seraya merujuk pada
moto kepausan
Paus Pius XII, “opus iustitiae pax” (perdamaian adalah buah keadilan),
berkomentar: “sekarang dapat dikatakan dengan secermat itu dan atas kekuatan
ilham alkitabiah yang sama pula (bdk. Yes 32:17; Yak 3:18), opus solidaritatis pax (damai merupakan buah
solidaritas).”
Pada
ulang tahun ke-100 Rerum
Novarum,
Yohanes Paulus II memaklumatkan
ensiklik sosialnya yang ketiga, Centesimus Annus, dari mana muncul kesinambungan
doktrinal selama seratus tahun Magisterium sosial Gereja. Seraya mengangkat secara baru
prinsip-prinsip fundamental pandangan Kristen tentang organisasi sosial dan
politik, yang selama ini menjadi tema utama dari ensiklik sebelumnya, sri paus menulis:
“Demikianlah apa yang sekarang ini disebut ‘prinsip solidaritas’ ... sering
kali pula prinsip itu dikemukakan oleh Paus Leo XIII dengan istilah
‘persahabatan’ ... Paus Pius IX menyebutnya dengan istilah penuh makna ‘cinta
kasih sosial’; sedangkan Paus Paulus VI berbicara tentang ‘peradaban cinta
kasih’.” Yohanes Paulus II menunjukkan
bagaimana ajaran sosial Gereja bergerak melintasi poros kesetimbalan antara Allah
dan manusia: mengakui Allah di dalam setiap pribadi dan setiap pribadi di dalam
Allah merupakan syarat bagi perkembangan manusia yang sejati. Analisis yang
jelas dan mendalam tentang “hal-hal baru”, dan khususnya terobosan besar tahun
1989 dengan tumbangnya system Soviet, memperlihatkan penghargaan terhadap
demokrasi serta ekonomi pasar, dalam konteks sebuah solidaritas yang mutlak
diperlukan.
c. Dalam terang dan di bawah
daya dorong Injil
Berbagai
dokumen yang dirujuk di sini merupakan tonggak sejarah dari jalan yang ditempuh
oleh ajaran sosial Gereja dari masa Paus Leo XIII hingga ke zaman kita sekarang
ini. Ikhtisar ringkas ini akan
menjadi jauh lebih
panjang bila kita mengkaji semua
intervensi yang didorong, selain daripada
sebuah tema khusus, oleh “keprihatinan pastoral untuk menyajikan kepada segenap jemaat
Kristen dan kepada semua orang yang
berkehendak baik prinsip-prinsip fundamental, kriteria serta pedoman universal yang cocok untuk
menganjurkan pilihan-pilihan
dasar serta praktik yang koheren
untuk setiap situasi konkret.”
Dalam perumusan dan pengajaran
ajaran sosial ini, Gereja sudah dan akan terus didorong bukan oleh motivasi
teoretis melainkan oleh keprihatinan pastoral. Gereja terdorong maju oleh
berbagai akibat pergolakan sosial terhadap bangsa-bangsa, terhadap banyak
orang, terhadap martabat manusia itu sendiri, dalam konteks di mana “manusia dengan
bersusah payah mengusahakan terwujudnya sebuah dunia yang
lebih baik, namun tanpa berupaya
dengan semangat yang sama untuk mencapai kemaslahatan rohaninya”. Karena
alasan-alasan ini maka muncullah ajaran sosial ini dan dikembangkan suatu
“‘kumpulan’ ajaran yang dimutakhirkan ... [yang] terhimpun secara
berangsurangsur, sementara Gereja, sambil mendambakan kepenuhan Sabda yang diwahyukan
oleh Yesus Kristus dan atas dorongan Roh Kudus (bdk.Yoh 14-16,26; 16:13-15), membaca berbagai peristiwa tatkala
peristiwaperistiwa tersingkapkan dalam bentangan sejarah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar