Selasa, 09 April 2013

DAYAK TERBEBAS DALAM LINGKARAN KONFLIK?


Di Kalimantan Barat, konflik yang bernuansa SARA, terlebih menyangkut hubungan antarsuku bangsa, bukan hal yang baru. Mulai tahun 1967, sejak terjadi anti Tionghoa di daerah Kalbar. Bahkan jauh dari itu, tahun 1770-1854, yakni konflik antar warga Tionghoa, Melayu dan Dayak. Konflik tersebut sudah berulang kali terjadi, terakhir terjadi pada tahun 1999 dan 2000 antara Melayu dan Madura yang mengakibatkan banyak korban jiwa dikedua belah pihak. Dari sekian banyak konflik itu, tidak jarang suku Dayak selalu terlibat, terlebih dengan suku Madura.
Kedatangan banyak etnis lain ke Kalimantan Barat telah menimbulkan ketakutan pada etnis asli, yaitu Dayak. Dari sekian etnis yang datang, suku Madura adalah yang paling berani (=menantang). Sedikit saja ada konflik antar keduanya, pasti akan berkembang menjadi konflik komunal.  Akibat diskriminasi yang dialami oleh orang Dayak pada zaman Orde Baru , membuat orang Dayak menjadi mudah emosi.
Namun sejak tahun 1999, etnis Dayak sudah tidak terlibat lagi dalam situasi konflik. Justru saat ini etnis Melayu mudah terlibat konflik yang dulunya jarang terlibat konflik, karena mereka merasa terancam. Pada tingkat pemerintahan provinsi mereka tersingkir, sehingga secara politik mereka kalah bahkan terhegemoni oleh etnis Dayak.
Ada beberapa faktor yang membuat etnis Dayak saat ini tidak pernah lagi terlibat konflik antar etnis. Pertama, tidak lepas dari pengaruh agama, khususnya agama Katolik, yang masuk dalam kehidupan orang Dayak. Pada masa sebelum dan selama kolonial, Kalimantan Barat terpecah dalam peperangan antar kelompok orang Dayak yang popular di sebut “Kayau”. Ketika itu pengetahuan dan keterlibatan orang Dayak dalam dunia politik sangat terbatas, mereka hanya berpikir untuk menghabisi setiap orang yang dianggap membahayakan (musuh). Kemudian, atas prakarsa missioner Belanda , orang Dayak kemudian berhasil menciptakan perdamaian diantara mereka pada kongres di Tumbang Anoi pada tahun 1894.
Kedua, berkaitan dengan hegemoni etnis, terutama dalam kekuasaan politik. Konflik antar etnis yang terjadi selama ini bukan semata karena perbedaan budaya, tetapi juga lebih jelas memiliki hubungan dengan aktivitas politik etnis dan upaya melawan hegemoni etnik yang berkuasa. Selama terlibat konflik, etnis Dayak terpinggirkan dari panggung politik yang membuat mereka termarginalkan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga mereka mudah sekali emosi ketika terjadi pergesekan dengan etnis lain. Tetapi semenjak etnis Dayak menemukan kembali hegemoni etnisnya dalam kekuasaan politik, membuat mereka merasa nyaman dan tidak lagi terpinggirkan.  Karena tidak dapat dipungkiri bahwa elit etnis yang berkuasa akan menjalankan hegemoni etnis atas etnis lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar