Di Kalimantan Barat, konflik yang bernuansa SARA, terlebih menyangkut hubungan
antarsuku bangsa, bukan hal yang baru. Mulai tahun 1967, sejak terjadi anti
Tionghoa di daerah Kalbar. Bahkan jauh dari itu, tahun 1770-1854, yakni konflik
antar warga Tionghoa, Melayu dan Dayak. Konflik tersebut sudah berulang kali
terjadi, terakhir terjadi pada tahun 1999 dan 2000 antara Melayu dan Madura
yang mengakibatkan banyak korban jiwa dikedua belah pihak. Dari sekian banyak
konflik itu, tidak jarang suku Dayak selalu terlibat, terlebih dengan suku
Madura.
Kedatangan
banyak etnis lain ke Kalimantan Barat telah menimbulkan ketakutan pada etnis
asli, yaitu Dayak. Dari sekian etnis yang datang, suku Madura adalah yang
paling berani (=menantang). Sedikit saja ada konflik antar keduanya, pasti akan
berkembang menjadi konflik komunal.
Akibat diskriminasi yang dialami oleh orang Dayak pada zaman Orde Baru ,
membuat orang Dayak menjadi mudah emosi.
Namun
sejak tahun 1999, etnis Dayak sudah tidak terlibat lagi dalam situasi konflik.
Justru saat ini etnis Melayu mudah terlibat konflik yang dulunya jarang
terlibat konflik, karena mereka merasa terancam. Pada tingkat pemerintahan
provinsi mereka tersingkir, sehingga secara politik mereka kalah bahkan
terhegemoni oleh etnis Dayak.
Ada
beberapa faktor yang membuat etnis Dayak saat ini tidak pernah lagi terlibat
konflik antar etnis. Pertama, tidak
lepas dari pengaruh agama, khususnya agama Katolik, yang masuk dalam kehidupan
orang Dayak. Pada masa sebelum dan selama kolonial, Kalimantan Barat terpecah
dalam peperangan antar kelompok orang Dayak yang popular di sebut “Kayau”. Ketika
itu pengetahuan dan keterlibatan orang Dayak dalam dunia politik sangat
terbatas, mereka hanya berpikir untuk menghabisi setiap orang yang dianggap
membahayakan (musuh). Kemudian, atas prakarsa missioner Belanda , orang Dayak
kemudian berhasil menciptakan perdamaian diantara mereka pada kongres di
Tumbang Anoi pada tahun 1894.
Kedua,
berkaitan dengan hegemoni etnis, terutama dalam kekuasaan politik. Konflik
antar etnis yang terjadi selama ini bukan semata karena perbedaan budaya,
tetapi juga lebih jelas memiliki hubungan dengan aktivitas politik etnis dan upaya
melawan hegemoni etnik yang berkuasa. Selama terlibat konflik, etnis Dayak
terpinggirkan dari panggung politik yang membuat mereka termarginalkan dalam
berbagai aspek kehidupan, sehingga mereka mudah sekali emosi ketika terjadi
pergesekan dengan etnis lain. Tetapi semenjak etnis Dayak menemukan kembali
hegemoni etnisnya dalam kekuasaan politik, membuat mereka merasa nyaman dan
tidak lagi terpinggirkan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa elit etnis yang berkuasa akan menjalankan hegemoni etnis
atas etnis lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar